Intelektual Profetik
Sebagai mengejewantahkan i’tikad di atas, mungkin gagasan Kuntowijoyo tentang profetik yang tertuang dalam bukunya: “Gerakan Sosial Muhammadiyah” dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. (2008) bisa dijadikan referensi.
Di Indonesia, terminologi profetik pertama kali dipopulerkan oleh cendikiawan Muslim Kuntowijoyo. Dengan sangat jujur, Kuntowijoyo menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami oleh Muhammad Iqbal. Menurutnya, setelah Nabi Muhammad SAW mikraj, Beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi SAW tidak hanya menikmati kebahagiannya berjumpa dengan Allah SWT dan melupakan masyarakatnya.
Motif intelektual profetik ini tentunya harus dijalankan atas kesadaran diri, bahwa fitrah penciptaan manusia oleh Allah SWT adalah untuk mengabdi kepada-Nya (QS.Al-Dzariyat: 56), sekaligus untuk mewakili-Nya menata kehidupan yang membawa rahmat bagi seluruh penghuni alam. Inilah manivestasi kekhalifahan manusia sebagaimana telah difirmankan oleh Allah SWT (QS.Al-Baqarah: 30). Peran penghambaan beserta kekhalifahan ini tidak mungkin dilakukan oleh makhluk Allah SAW SWT selain manusia.
Kuntowijoyo berpendapat, ada tiga elemen utama yang terkandung dalam konsep profetik, yakni humanisasi (ta’muru bil ma’ruf), liberasi (tanhawna ‘anil munkar), dan transendensi (tu’minu billah). Konsep ini berakar dari Alquran Surah Ali Imran: 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Konsepsi Kuntowijoyo diderivasikan dari tiga elemen yang Allah sebut sebagai prasyarat umat terbaik tersebut.
Amar ma’ruf (menyuruh kepada yang baik) tidak hanya berada dalam konteks individual, melakukan kebaikan pada sesama. Ia harus ditransformasikan dalam konteks sosial budaya.
Kuntowijoyo menafsirkannya sebagai emansipasi manusia kepada fitrah-nya: pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Inilah yang ia sebut sebagai humanisasi teosentris: kembalinya manusia pada fitrahnya sebagai makhluk Allah SWT yang diberi tanggung jawab mengelola bumi.
Humanisasi berarti menebar kebaikan dengan titik pijak keadilan. Misi humanisasi adalah menempatkan manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardli, pemimpin di muka bumi, yang mesti menjalankan misi keadilan. Upaya-upaya rekonstruksi ini perlu dijalankan dalam konteks sosial-budaya, termanifestasi dalam ruang-ruang publik yang konkret, dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sementara itu, nahyi munkar (mencegah kemunkaran) juga tidak bisa hanya dimaknai dalam kerangka individual. Secara sosial, nahyi munkar berarti pembebasan manusia atas penindasan dari manusia lainnya, pembebasan dari segala bentuk kegelapan (zhulumat), kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan sebagainya. Juga pembebasan manusia atas kezaliman yang dilakukan oleh manusia lainnya. Artinya, konsep nahyi munkar memiliki implikasi gerakan dan struktural.
Spirit pembebasan ini banyak ditemui dari puisi-puisi Kuntowijoyo, sebagaimana penulis kutip di atas: “Karena kakiku masih di bumi//Hingga kejahatan terakhir dimusnahkan//Hingga para du’afa dan Mustada’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”.
Dalam pelbagai tulisannya, Kuntowijoyo juga banyak memberikan kritik-kritik sosial atas realitas. Ia banyak melihat kondisi sejarah sosial Indonesia yang diwarnai oleh praktik-praktik eksploitasi kapital. Potret penindasan ini muncul dalam bentuk oligarki antara pemodal besar dengan negara yang kemudian menyebabkan akses rakyat kecil atas ekonomi menjadi terhambat. Ia menyebutnya sebagai dhuafa dan mustadh’afin.
Adapun tu’minu billah berarti pengembalian segala sesuatu pada hakikatnya yang paling mendasar: tauhid. Pada titik inilah gagasan ilmu sosial profetik menjadi penting. Gagasan tauhid tidak hanya berada pada level teologis, tetapi juga harus diterjemahkan melalui langkah-langkah sosial konkret.
Penutup
Kiranya dapat ditarik benang merah, bahwa intelaktual profetik adalah perjuangan insan akademik di ranah sosial kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kehidupan yang beradab sebagaiman dicontohkan para Nabi, terutama Nabi Muhammad SAW. Sedangkan dimensi pengabdian vartikal insan akadamik (kaum intelektual) tak lain adalah perwujudan kesadaran mendedikasikan kapabalitas intelektual memberdayakan masyarakat.
Insan akademik harus sadar memiliki tanggungjawab moral maupun intelektual untuk secara ikhlas berkontribusi untuk perbaikan masyarakat.
Dari itu, sudah saatnya segenap insan akademik, terutama pada Perguruan Tinggi Islam, kembali pada semangat kenabian (profetik) terutama dalam menjalankan aktivitas intelektualnya.
Ketika semangat ini menjadi dasar atau niat awal, maka Insya-Allah membawa perubahan ke arah lebih baik. Semoga. (*)
M. Risfan Sihaloho, Pemred TAJDID.ID