Masih terang dalam ingatan kita seorang musisi berinisial EAP alias A dan seorang berinisial HP yang disebut sebagai pakar mikrobiologi dan dipanggil dengan julukan “profesor” karena videonya yang berdurasi sekitar 30 menit viral yang memuat klaim tentang herbal sebagai obat yang dapat menyembuhkan Covid-19 harus berujung di kantor polisi.
Saat ini saja konten yang yang hampir mirip banyak menawarkan berbagai produk jamu atau herbal yang diklaim sebagai obat yang dapat menyembuhkan virus corona. Hal tersebut sangat mudah terjadi karena minimnya edukasi konsumen mengenai jamu ataupun herbal.
Bagi konsumen minimnya informasi tentang jamu atau herbal kategori dapat menyembuhkan, membantu menyembuhkan, mencegah, meringankan atau membantu meringankan, sehingga dengan mudah konsumen untuk mengkonsumsi produk yang terjual bebas dipasaran.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk melihat sudah sampai dimana proses hukum yang sedang dijalani kedua orang tersebut, melainkan fokusnya adalah pada situasi penanganan covid-19 yang berdampak pada perlindungan konsumen.
Konsumen secara psikologis sangat tertekan karena sampai saat ini belum adanya vaksin yang dapat mencegah/membunuh covid-19, sikap pejabat publik juga memperburuk keadaan karena justru memberi contoh yang tidak baik dalam menyikapi pendemi. Lihatlah bagaimana para pejabat justru memunculkan polemik nasi kucing, jamu Pancasila, sampai dengan kalung ekaliptus.
Belum Ada Obat Covid-19
Konsumen harus teredukasi bahwa sampai saat ini belum ada penemuan yang bisa mengobati covid-19, namun jika disiplin menjalankan protokoler kesehatan dengan sering mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengupayakan tetap dirumah telah dapat mencegah dari penularan.
Pernyataan sepihak yang muncul dimasyarakat adanya jamu atau herbal, yang dapat menyembuhkan dari serangan virus corona masih harus diuji kebenarannya. Jika sampai klaim tersebut diyakini oleh konsumen maka akan semakin sulit mencegah berkembangnya penularan covid-19, karena akan muncul anggapan jamu atau herbal tersebut dapat menyembuhkan.
Salahsatu sulitnya menurunkan laju angka penyebaran korban covid-19, karena muncul persepsi bahwa jamu, herbal dapat menyembuhkan covid-19. Sehingga masyarakat berkeyakinan dengan minum herbal atau jamu maka covid-19 akan hilang, padahal jamu atau herbal hanya dapat meningkatkan daya tahan tubuh sedangkan virusnya dapat berpindah dan menular kepada manusia lain.
Strategi pemasaran yang melibatkan tokoh publik semisal artis, tenaga kesehatan maupun menggunakan simbol medis memudahkan konsumen tertarik. Adalah sangat berbahaya mengkonsumsi produk yang tidak mendapatkan ijin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makananan (BPOM), karena dapat menimbulkan dampak buruk jika dikonsumsi oleh orang yang mungkin memiliki riwat penyakit tertentu semisal hipertensi, diabetes melitus, gangguan jantung dan penyakit lainnya.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan kosmetik BPOM Maya Gustina Andarini mengatakan, obat herbal bisa diklaim mengobati suatu penyakit harus ada aturannya, apalagi ditujukan untuk klaim anti Corona atau penyembuhan Corona. Sampai saat ini Badan POM tidak pernah memberikan persetujuan klaim khasiat obat herbal yang dapat menyembuhkan pasien Covid-19. (Liputan6.com, 10/8/20)
Ancaman Hukuman
Mengapa klaim-klaim adanya jamu atau herbal dapat menyembuhkan covid-19 terus berulang, setidaknya dalam pandangan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) karena lemahnya penegakan hukum. Hal tersebut berkaca pada kasus hampir serupa selalu diputus ringan sehingga tidak memberi efek jera. Padahal terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan jamu atau herbal dalam kategori tidak sesuai standar dan ketentuan undang-undang akan dihukum pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda sebanyak dua milyar rupiah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pasal 62.
Pemasaran jamu atau herbal yang tidak benar dapat menyembuhkan covid-19 melalui media sosial, namun dalam trik dagangnya justru mengutarakan sebaliknya sangat berpotensi dijerat pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Indang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada Pasal 45A ayat (1) ditegaskan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transasksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah. (*)
Ibrahim Nainggolan, Ketua LAPK/Dosen FH UMSU
Comments 1