Jahatokrasi dapat berkembang (dan memang untuk kasus Indonesia telah terbukti begitu subur) meski dalam iklim sebuah negara kaya undang-undang (UU).
Rupanya harus dibuat dugaan baru bahwa perkayaan UU itu telah dirancang untuk bukan saja kamuflase, melainkan juga untuk melegitimasi semua keinginan buruk yang dicita-citakan. Dengan rendahnya kemauan politik para pemimpinnya melaksanakan UU, maka negara itu tak ubahnya preman state (negara preman) yang lawless country (negara tanpa hukum).
Kondisi itu amat menyuburkan jahatokrasi dan saling menyuburkan sesamanya. Rakyat dan seluruh instrumen demokrasi dipaksa tunduk kepada mekanisme ini. Sebetulnya rakyat bukan tidak tahu bahwa pada gilirannya kekuasaan yang “dibeli paksa” itu akan menghisap rakyat. Tetapi buruknya kondisi ekonomi dan terjadinya degradasi kenegarawanan yang serius telah memuluskan para penjahat menjalankan misinya.
Politik Tanpa Idiologi
Aspek perundang-undangan yang lemah masih tetap sebagai faktor peluang yang menjadi penyebab utama mulusnya jahatokrasi. Tetapi jika ada integritas penyelenggara, eliminasi sistematis jahatrokrasi itu dapat dilakukan. Sayangnya sekarang sudah kadung dinikmati bahwa proses demokrasi adalah momentum menjadi kaya sambil berkuasa seperti raja.
Tidak dapat dipungkiri bahwa fasilitasi partai politik telah ikut bertanggungjawab atas kebobrokan ini. Mereka menjadi faktor penting yang berperan sebagai jembatan sekaligus legitimator yang meniscayakan. Partai politik dengan keasyikan merebut kekuasaan menciptakan iklim kondusif bagi supremasi jahatokrasi, dan memang partai politik itu merupakan sistem penyangga untuk itu.
Keluhan-keluhan nyata terhadap partai politik memang adalah sebuah kisah lama. Politik tanpa Idiologi memang menjadi oportunis. Politik tanpa disiplin organisasi memang menjadi avonturis, dan politik tanpa strategi sungguh menjadi liar. Dalam kerangka itu politik telah menjadi selautan air pemuas dahaga hedonisme para jahatokrat yang tiap detik berhasil menambah pengikut dari ruang kekuasaan tertinggi sampai ke sudut paling terpelosok dari sebuah negeri.
Dengan gambaran ini tidak ada perbaikan perbaikan nasib rakyat ke depan, karena penguasa baru akan memilih korupsi sebagai modus tunggal untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan untuk membeli paksa kekuasaan.
Tetapi tidaklah dengan analisis ini menjadi sah untuk mengatakan pemilukada sebagai biang korupsi di Indonesia harus dikembalikan ke cara semula, dipilih oleh legislator daerah. Mengapa?
Mari kita buat simulasi kecil. Ketiklah money politics pemilukada di mesin pencari Google. Setelah itu cari pula catatan Google tentang money politics pilpres. Anda akan tahu bedanya karena kedua konsep itu dicatat dengan frekuensi yang amat jauh berbeda oleh mesin pencari Google. Ketika kita mendapatkan informasi dari Google tentang frekuensi catatan tentang korupsi APBN dibanding dengan korupsi APBD, maka nalar sehat pasti menggiring bahwa berdasarkan content analysis permasalahannya bukan di ranting-ranting, melainkan berada di induk kekuasaan. Ikan, sebagaimana orang Batak memahami, tidaklah pernah memulai pembusukan dari ekor.
Karena itu, mantan Mendagri Gamawan Fauzi dan rezim yang sedang berusaha merubah sistem pemilukada benar-benar salah kaprah. Mereka harus merengungi kembali bahwa negara telah dirusak oleh siapa dan tindakan apa yang diperlukan untuk perusak dan besaran kerusakan itu. Negeri ini tidak boleh selalu jumping conclution (membuat kesimpulan dengan melompati fakta kebenaran) karena akan memberi terapi yang salah berdasarkan dioagnosis salah.
Buruknya sistem penegakan hukum dan sistem peradilan akan semakin memudahkan skenario korupsi para penjahat yang baru berhasil merebut kekuasaan. Belum ada perubahan sama sekali, dan membincangkan institusi-institusi penegak hukum dan penindakan seperti KPK siang dan malam tidak akan merubah negeri ini. Mengapa? Negeri ini memperbolehkan pemberian legitimasi politik kepada para pemimpinnya meski tanpa komitmen. Indonesia tidak memiliki Zhu rongji.
Model rekrutmen
Kini perbincangan pilpres telah dimulai. Klausul calon perseorangan dipandang dengan semangat pro dan kontra. Bagi rakyat persoalan sesungguhnya bukanlah instrumen administratif untuk pengorbitan menjadi pemimpin, melainkan berakar pada sebuah pertanyaan: ”berhakkah rakyat untuk beroleh pemerintahan yang baik dan melindungi serta memajukan?
Berdasarkan pengalaman pemilukada, pintu mana pun yang ditempuh ternyata tidak ada perubahan bagi hasil akhir karakteristik kepemimpinan daerah maupun nasional. Karena itu diskusi tentang klausul calon perseorangan adalah sebuah ilusi yang menyita waktu dan energi.
Selain itu terdapat kesulitan yang luar biasa bagi calon perseorangan jika dilihat dari pengalaman empiris. Sebuah pengecualian patut diberikan kepada HOK Arya Zulkarnaen yang terpilih melalui jalur perseorangan di tanah leluhurnya Kabupaten (pemekaran Asahan) Batubara. Mata Indonesia terpaksa tertuju kepadanya, mengingat kelangkaan yang dia ukir tahun 2008. Tetapi ia sendiri pun sudah mengakui jalan itu adalah sebuah pilihan pertama dan sekali saja. Kini ia sudah berpartai, memimpinnya untuk daerahnya.
Dimanakah peran KPU dalam proses politik jahatokrasi itu? Pertama-tama tentulah soal independensi formal yang melabeli dirinya meski fakta terlalu banyak menunjukkan hal yang berbeda.
Kedua, di antara instrumen penting penyelenggaraan politik di Indonesia orang tidak boleh lupa betapa pentingnya KPU. Secara ideal lembaga ini amat diharapkan membawa Indonesia ke sebuah pemahaman dan pengalaman yang mensejahterakan.
Tetapi itu menjadi harapan sia-sia. Jika KPU kerap tidak peduli warga negara yang mana yang akan memberi pilihan dalam sebuah pemilihan dan berapa banyak jumlah mereka, dan jika KPU juga tidak begitu konsisten dengan hukum siapa yang akan dipilih dan bagaimana pemilihan itu jujur sejujur-jujurnya dan adil-seadil-adilnya, maka harapan sudah pupus. Itulah sebabnya rekomendasi pembubaran KPU begitu gencar.
Penutup
Jahatokrasi memfasilitasi bermacam-macam penyimpangan pemerintahan dan kenegaraan yang fatal. Dari sini bisa terbentuk shadow state yang seperti mesin canggih memproduk keuntungan-keuntungan material dan politik yang berlawanan dengan kepentingan rakyat. Harus ada negarawan yang mengedepankan kepentingan negara di atas segalanya. Itu saja resep yang diperlukan. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU