Kendati hingga siang ini belum dimumkan, namun kuat dugaan bahwa sebagaimana halnya terjadi di Solo, Bobby Nasution akan diusung oleh PDI-P bersama partai-partai lain yang menceminkan koalisi pemerintahan saat ini.
Dengan begitu dua daerah ini akan menjadi ujian besar bagi para pihak. Pertama, PDI-P yang tak mengusung kadernya. Kedua, rakyat di kedua daerah. Ketiga, rakyat di seluruh Indonesia.
Ujian pertama terkait fakta bahwa Achmad Purnomo dan Akhyar Nasution yang seyogyanya adalah petahana, namun tidak diusung oleh partainya. Bagaimana pun juga akan ada reaksi dari internal yang selama ini menginginkan pertumbuhan demokrasi yang sehat. Kader yang tidak puas akan mengekspresikan perlawanan.
Ujian kedua terkait dengan sikap rakyat di kedua daerah yang belum tentu dapat dengan legowo menerima calon Walikota mereka berbau dinasti. Hari-hari belakangan ini popularitas Joko Widodo tentu sedikit banyaknya mengalami penurunan oleh berbagai ketidak-puasan yang beruntun. Mulai dari pengangkatan para menteri, staf khusus millenial dan para juru bicara yang kerap dinilai kurang indah. Juga karena kondisi ekonomi yang tak membaik yang ditimpali oleh kenaikan tarif iyuran BPJS. Hal lain tentu terkait dengan wabah covid-19 yang sejak awal tak disikapi secara bak. Akumulasi dari semua masalah itu berujung pada resistensi politik.
Karena itu kekhawatiran bagi PDI-P akan semakin tinggi jika kedua kader yang tak diusung beroleh dukungan dari partai-partai lain. Saya tidak tahu kondisi Solo, namun di Medan sejak beberapa bulan lalu Akhyar Nasution sudah memiliki plan B. Plan B itu cukup menyenangkan bagi partai-partai lain, dalam hal ini PKS (7 kursi) dan Partai Demokrat (4 kursi). Semua orang dapat menghitung political benefit mengusung seorang petahana, dan PKS dan PD tak melewatkan hal yang amat menjanjikan ini.
Ujian ketiga jauh lebih luas. Fenomena dinasti ini akan menjadi pemikiran bagi rakyat nasional karena meski tidak ada regulasi yang melarang, seorang Presiden yang mengusahakan anak dan menantunya maju dalam pilkada serentak di dua daerah dipandang sebagai sebuah keanehan demokrasi yang paling tidak karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan Soeharto, misalnya, yang salah seorang puterinya memang pernah menjadi menteri, fenomena dinasti yang sekarang jauh berbeda. Mbak Tutut menjadi Menteri dengan klausul hak prerogatif Presiden. Sedangkan pencalonan untuk Kepala Daerah memerlukan dukungan partai untuk selanjutnya maju dalam pemilihan langsung.
Tadi pagi saya mengikuti dialog yang digelar oleh RRI pro 3. Program itu kurang lebih telah menjadi mimbar yang menunjukkan ada hal yang tak berjalan mulus dalam demokratisasi Indonesia. Reaksi dari berbagai daerah yang disampaikan secara langsung menunjukkan resistensi ketimbang sikap abstain.
Dalam posisi seperti itu jika Achmad Purnomo dan Akhyar Nasution akan menjadi calon di daerah mereka masing-masing, tak saja karena berstatus petahana, dukungan rakyat relatif akan lebih mudah diraih karena keduanya dianggap terzolomi. Pemilih rasional sebagai kelompok strategis di kedua daerah, betapa pun mungkin jumlahnya tak mayoritas, pun akan memengaruhi para calon pemilih. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU.