Mencermati perkembangan terakhir dinamika politik terkait Pilkada Serentak 2020, sepertinya fenomena pasangan calon (paslon) tunggal masih potensial mencoraki Pilkada di sejumlah daerah.
Menarik untuk ditelisik, ada kecenderungan fenomena paslon tunggal mengalami peningkatan. Pada Pilkada 2015 tercatat ada tiga daerah dengan paslon tunggal, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Blitar dan Kabupaten Timur Tengah Utara. Sedangkan pada Pilkada 2017 ada sembilan daerah dan pada Pilkada 2018 meningkat sebanyak 16 daerah.
Dari fenomena di atas, lantas menarik untuk dipertanyaakan; ada apa dengan kehidupan demokrasi di negeri ini?
Bagi penulis, terlepas dari dasar hukum dan aturan lainnya yang melegalkan dan menghalalkan pasangan calon tunggal, tetap saja ada ironi demokrasi yang menyumbul dari fenomena ini.
Bagaimanapun, sepertinya ada kesan paradoks yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa seiring klaim kemajuan demokratisasi yang kita koar-koarkan, ternyata demokrasi kita juga sedang mengalami dekadensi jatidiri yang cukup serius. Bukankah yang menjadi ukuran utama sehatnya demokrasi itu terletak pada fungsinya sebagai instrumen yang bisa menyuguhkan keluasaan dan kekayaan ragam pilihan?
Ya. Kehidupan demokrasi yang sehat itu tidak cukup menghadirkan iklim politik yang kondusif saja, tetapi juga harus bisa senantiasa menjamin tumbuhnya atmosfir politik yang akomodatif dan kompetitif. Artinya, pemilu yang dirancang sebagai panggung gempita demokrasi harus bisa menyuguhkan pertunjukan politik yang menghibur semua pihak, bukan konser politik solo yang monoton. Demokrasi yang baik itu mengidealkan ada rivalitas yang sehat antar calon pemimpin yang potensial untuk ikut berkompetisi.
Selama ini, banyak cerita mengelikan sekaligus memuakkan tentang tradisi calon tunggal ini. Misalnya, ketika menjajaki koalisi dalam memajukan kandidat, visi parpol sering kali terlalu dangkal dan teramat pragmatis, bukan didasari oleh spirit untuk penguatan dan konsolidasi demokrasi. Coba perhatikan, untuk membenarkan calon tunggal, sejumlah elite parpol dengan gampang berdalih tak ingin mengambil risiko memajukan kandidat yang berpeluang kalah. Argumentasi ini tentunya banal, karena bukankah sejak awal harusnya parpol serius mencari dan menyeleksi sejumlah orang di dalam maupun di luar parpol yang memiliki basis dukungan nyata di masyarakat. ? Tapi mengapa hal tersebut tidak mereka lakukan ?
Jawabannya, karena memang kultur politik harian kita sudah begitu pragmatis, tak ada lagi nilai-nilai perjuangan dan idealisme di dalamnya. Justru yang ada di benak mereka adalah bagaimana dalam pesta demokrasi ini mereka bisa meraup keuntungan dalam waktu singkat, meskipun itu dengan cara instan dan mencederai aspirasi rakyat. Alhasil, dalam proses kandidasi, keputusan rekomendasi paslon dari pusat ke daerah pun tidak cuma berjalan linear, tapi juga otoriter, tanpa melewati proses komunikasi timbal balik yang lebih objektif.
Jika demikian, maraknya kehadiran paslon tunggal di pentas Pilkada Serentak tentu penting untuk dicermati dan dikritisi. Fenomena ini tidak bisa dianggap sepele, terlebih terkait dengan masa depan pembangunan demokrasi bangsa ini.
Setidaknya ada beberapa potensi destruktif yang bakal muncul sebagai ekses dari fenomena maraknya paslon tunggal ini.
Pertama, jika paslon tunggal ini menang lawan kotak kosong, maka kemudian yang potensial muncul adalah rezim kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir orang yang berasal dari koalisi parpol yang sudah diborong oleh paslon. Ujung-ujungnya, utang budi pada mayoritas partai yang mendukung tak bisa dihindari. Dan yang lebih parah lagi, dengan ketiadaan kekuatan oposisi, maka otomatis akan meneguhkan politik kartel di daerah tersebut.
Terkait politik kartel ini, Dan Slater dalam tulisannya Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition (2004) mengungkapkan, bahwa memang Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan situasi demokrasi yang kolusif (collusive democracy). Kecenderungan praktik monopoli dan kolusif dalam kekuasaan dalam bungkus politik kartel ini tidak hanya berlaku di tingkat nasional, tapi juga sudah merambah sampai ke daerah.
Kedua, rezim penguasa yang berasal dari paslon tunggal berpotensi untuk menguasai jangkar kekuasaan secara absolut , baik infrastruktur (tokoh, media massa, media massa, parpol, LSM, ormas) maupun suprastruktur politik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Jika sudah mengarah kepada keabsolutan, maka yang dikhawatirkan kemudian adalah kemungkinan akan munculnya dampak negatif seperti yang pernah diperingatkan oleh Lord Acton dalam sebuah adagiumnya yang sangat terkelal, yakni “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”
Apapun ceritanya, tentu ke depan proses demokrasi elektoral lewat pemilu harus terus diperkuat. Pilkada serentak mesti kompetitif seiring dengan peran dan fungsi parpol yang lebih baik lagi.
Memang, kita bisa memaklumi niat politik partai untuk menjadikan momentum pemilihan pemimpin di daerah itu sebagai upaya untuk menguatkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan, tapi caranya bukan dengan gampang menjustifikasi tradisi praktik calon tunggal tersebut.
Karena itu, demokrasi jangan hanya dipahami secara kaku, yakni sebagai prosedur kelembagaan semata. Di satu sisi, demokrasi memang harus mampu menjamin terwujudnya sebuah pemerintahan efektif. Namun di sisi lain, dalam waktu bersamaan demokrasi juga harus bisa mengakomodir kepentingan dan partisipasi rakyat secara lebih otentik.(*)
Penulis adalah Pemred TAJDID.ID