Tidak diragukan lagi, amar ma’ruf nahy munkar telah menjadi identitas khas pergerakan Muhammadiyah sejak dilahirkan tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan hingga hari ini. Bagi Muhammadiyah, amar ma’ruf nahy munkar bukan hanya sebatas slogan dan wacana semata, melainkan telah menjadi ruh dan elan gerak perjuangannya.
Sejarah mencatat, dalam mengejewantahkan doktrin amar ma’ruf nahy mungkar Muhammadiyah pantang hanya sekedar berwacana. Terbukti, seluruh kiprah dan sepakterjang organisasi ini selalu menunjukkan corak aktivitas yang konsisiten menonjolkan aksi nyata dalam laku kesehariannya.
Dan kini, dalam usianya yang sudah lebih satu abad, konsistensi watak aksi nyata pergerakan Muhammadiyah itu telah membuahkan hasil yang cukup membanggakan. Segudang prestasi yang telah dicapai Muhammadiyah telah menasbihkannya sebagai organisasi yang paling banyak memberi kontribusi kemaslahatan bagi ummat dan bangsa di republik ini, mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya. Konsistensinya terlihat dalam bentuk amal nyata dan amal usaha yang tumbuh berkembang tiada henti dan dilakukan secara mandiri.
Ya. Dedikasi dan kontribusi Muhammadiyah buat republik ini memang tak diragukan lagi. Namun kiranya perlu diingat, melulu sebatas membantu dalam hal fisik secara terus menerus tentu tidak akan bisa menjamin penyelesaian masalah yang dihadapi secara maksimal. Di satu sisi, Muhammadiyah memang berkewajiban moral untuk turut andil dalam melayani dan memberdayakan rakyat kecil. Akan tetapi di sisi lain harus disadari, bahwa kiranya apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah kurang efektif jika tidak dibarengi dengan upaya pembenahan sistem. Artinya, selain konsisten membantu negara dan rakyat secara real, Muhammadiyah idealnya juga harus proaktif membantu rakyat dalam melawan dan mengubah sistem yang amburadul, korup dan kering dari cita-rasa keadilan.
Dan bila dicermati, dengan segenap sumber daya, reputasi dan prestasi yang dimilikinya, tentu sangat memungkinkan bagi Muhammadiyah untuk bisa lebih ekspansif dalam melakoni peran pemberdayaan dan pencerahannya. Muhammadiyah bisa membuat kangkah-langkah gerakan yang lebih kreatif, inovatif, bahkan improvitatif dalam rangka menyahuti tuntutan zaman yang terus berkembang.
Jihad Ala Muhammadiyah
Jika ditilik, sebenarnya sejauh ini upaya-upaya tersebut sudah mulai diinisiasi oleh Muhammadiyah. Misalnya soal jihad. Disaat istilah jihad menjadi istilah yang berkonotasi negatif dimata publik terutama terkait isu maraknya terorisme, Muhammadiyah justru sama sekali tidak merasa tabu dan alergi terhadap istilah tersebut. Justru Muhammadiyah tetap memakai terminalogi itu, tapi dalam konteks yang lebih cerdas dan beradab. Lantas, seperti apa sesungguhnya konsep jihad dalam pemahaman Muhammadiyah ?
Dalam sebuah tulisannya, Header Nasyir menjelaskan, bahwa Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama.
Demikianlah Muhammadiyah memaknai jihad. Maka dari pemaham seperti itu, organisasi ini kemudian mampu menggagas sejumlah agenda dan program gerakan jihad ala Muhammadiyah, seperti “Jihad Konstitusi”, “Jihad Pangan” dan “Jihad Keberdayaan” dan sebagainya.
Masih terkait dengan hal tersebut, kiranya ke depan Muhammadiyah sangat perlu untuk mengkreasi dan menggalakkan lebih banyak lagi konsep jihad yang lain. Bahkan kalau perlu seluruh sisi dan lini gerak perjuangan Muhammadiyah secara sistemik bisa dilebeli elan jihad.
Dan salah satu varian jihad yang belakangan ini mungkin layak dan cukup relevan untuk digagas oleh Muhammadiyah adalah “Jihad Advokasi”. Setidaknya menurut catatan penulis, ada dua kasus nasional yang di dalamnya Muhammadiyah proaktif terlibat dalam gerakan advokasi, yakni pada kasus kontroversi kematian terduga teroris Siyono dan kasus konflik sosial Tanjung Balai. Kedua kasus ini sepertinya bisa dijadikan inspirasi dan referensi untuk menindaklanjuti gagasan “Jihad Konstitusi” ini.
Masih segar dalam ingatan kita, dalam kasus Siyono (2016) misalnya, keputusan Muhammadiyah untuk mengadvokasi keluarga Siyono bisa dikatakan sangat riskan. Dan itu merupakan “pekerjaan” yang jarang dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini.
Sebagai implikasinya, tentu bukan tidak mungkin kerja advokasi Muhammadiyah tersebut akan memunculkan kesan bahwa Muhammadiyah pro dengan terorisme. Namun, syukur alhamdulillah Muhammadiyah bisa membuktikan bahwa apa yang dilakukannya tidak keliru. Bersama Komnas HAM, Muhammadiyah melakukan advokasi terhadap kasus kematian Siyono yang tak wajar, dan upaya itu terbukti mendapat apresiasi dari masyarakat.
Dalam kasus Siyono, sama sekali Muhammadiyah tidak bermaksud ingin gagah-gagahan mengambilalih tugas negara (pemerintah) atau berpretensi untuk menyudutkan lemabaga negara seperti Polri dan Densus 88. Kendati Siyono bukanlah warga ataupun kadernya, namun Muhammadiyah ingin hadir didalammnya melakukan advokasi. Hal ini dikarenakan negara tidak hadir dalam melindungi warga dan menegakkan keadilan.
Begitu juga sikap PW Muhammadiyah Sumatera Utara lewat Majlis Hukum dan HAM nya yang berikhtiar menawarkan solusi adil terkait kerusuhan Tanjung Balai (2026).
Seperti diketahui, dalam penanganan kerusuhan Tanjung Balai ada kecenderungan saat itu pihak kepolisian ingin membangun konstruk hukum berdasarkan pendekatan pidana semata. Gelagat kecenderungan ini terlihat misalanya bagaimana terlalu buru-burunya pihak kepolisian menetapkan tersangka dan menonjolan media sosial sebagai salah satu faktor penyulut pecahnya konflik. Dan anehnya lagi, pendekatan pidana terkait kerusuhan tersebut menggunakan pasal-pasal penjarahan.
Model penanganan inilah kemudian yang dikritisi oleh Muhammadiyah. Pasca kerusuhan Muhammadiyah berinisiasi membentuk tim pencari fakta untuk mendapatkan gambaran yang konprehensif dan objektif . Hasilnya, Muhammadiyah menilai kerusuhan bernuansa SARA yang terjadi Tanjung Balai merupakan “konflik sosial”.
Karena kategorinya konflik sosial, maka langkah penanganan yang mesti dilakukan harus sesuai dengan norma hukum yang ada, yakni langkah yang konprehensif, bukan parsial. Muhammadiyah memandang, konflik sosial itu sebenarnya bisa dipetakan dengan menggunakan pelbagai kacamata, seperti kacamata hukum, ekonomi, sosisiologi, antropologi dan sebagainya. Karenanya, pendekatan hukum pidana saja dinilai tidak akan mampu menyelesaikan akar permasalahan konflik. Pendekatan itu justru dianggap dapat memicu konflik lanjutan dan meluas ke daerah lainnya
Dan Muhammadiyah berpandangan, perangkat hukum yang tepat digunakan adalah UU No 7 Tahun 2012 dan PP Nomor 2 Tahun 2015 yang berkaitan tentang penanganan konflik sosial, dimana penanganan konflik harus mengedepankan pendekatan musyawarah, kemanusian, hak asasi manusia, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan, keadilan, ketertiban, keberlanjutan dan kearifan lokal, serta tanggungjawab negara, partisipatif dan tidak memihak serta tidak membeda-bedakan.
Berangkat dari fakta tersebut, Muhammadiyah kemudian mendesak pihak kepolisian untuk bersikap bijak menangani dan menyelesaikan kasus konflik sosial Tanjung Balai secara obyektif dan konprehensif.
Bukan cuma sebatas mengkritisi dan menyatakan sikap, untuk menindaklanjuti kasus itu Muhammadiyah juga menempuh langkah konkrit dengan membentuk tim advokasi yang bertujuan untuk mengawal kasus ini sehingga bisa diselesaikan secara tepat dan adil. Di antara hasil pendampingan hukum yang dilakukan tim advokasi Muhammadiyah pada waktu itu adalah bisa dibebaskannya sejumlah tersangka kerusuhan yang nota-bene adalah ummat Islam dan sebagian besar masih di bawah umur.
Tanggungjawab Moral
Pada kedua kasus tersebut, tentunya perlu ditegaskan, bahwa Muhammadiyah sama sekali bukan sedang mencari sensasi atau melakukan pencitraan. Sama sekali bukan. Itu memang sudah menjjadi bagian dari tanggungjawab moral Muhammadiyah yang selalu menginginkan kemaslahatan bagi bangsa dan negara ini. Terlebih lagi Muhammadiyah memang memiliki kapasitas dan kapabalitas untuk melakukan peran tersebut. Sudah selayaknya memang Muhammadiyah selalu hadir disaat negara alfa dalam menegakkan keadilan dan kebenaran di negeri yang oleh Muhammadiyah sudah diakui sebagai Negara Pancasila sebagai “Dar Al-Ahdi Wa Al-Syahadah”.
Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahy munkar, tentunya adalah sebuah kewajiban bagi Muhammadiayah untuk selalu menyeru kebenaran dan mencegah kemunkaran. Muhammadiyah tidak akan tinggal diam jika terjadi pelbagai ironi, distorsi maupun manipulasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat , baik dalam lingkup kehidupan beragama (Islam) maupun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Begitu juga sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah niscaya akan selalu berada di garda terdepan dalam melakukan ikhtiar pemurnian (purifikasi) maupun pembaruan (reformasi) dalam melawan segala bentuk kejumudan (stagnasi ), kebodohan, kemiskinan dan keterbelakanagan yang mencengkram kehidupan ummat Islam dan bangsa Indonesia.
Amr bi al-adl wa nahy ‘an al-zulm
Bagi penulis, gagasan “Jihad Advokasi” sebenarnya juga sangat selaras dengan doktrin amr bi al-adl wa nahy ‘an al-zulm (menyeru pada keadilan dan menghilangkan kezaliman) yang diserukan oleh Amien Rais belum lama ini dalam pidato penutupan Rapat Kerja Nasional Majelis Tabligh Muhammadiyah 2016.
Dalam pidatonya Amien Rais menilai, selama ini Persyarikatan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan yang membawa misi dakwah amr ma’ruf nahy mungkar, sama dengan konsep umum yang dibawa oleh hampir semua organisasi Islam. Jadi untuk konteks sekarang, ia memandang misi dakwah amr ma’ruf nahy mungkar yang diusung oleh Muhammadiyah harus diubah. Lantas apa sesungguhnya perbedaan amr ma’ruf nahy mungkar dengan amr bi al-adl wa nahy ‘an al-zulm ?
Perbedaannnya menurut Amien Rais adalah, amr ma’ruf nahy mungkar lebih berorientasi pada perbaikan moral, misalnya terkait dengan perjudian, pelacuran, miras, narkoba dan sebagainya. Sedangkan amr bi al-adl wa nahy ‘an al-zulm lebih pada persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik dan hukum.
Sebagai contoh, Amien Rais menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah di masa kepemimpinan Din Syamsuddin dengan gerakan “Jihad Konstitusi” adalah salahsatu bentuk perjuangan kategori amr bi al-adl wa nahy ‘an al-zulm.
Merujuk dari pemikiran Amien Rais di atas, menurut penulis gagasan “Jihad Advokasi” juga bisa dimasukkan sebagai varian dari amr bi al-adl wa nahy ‘an al-zulm. Jika “Jihad Konstitusi” lebih fokus untuk menegakkan keadilan di sektor “hulu”, langsung pada akar penyebab masalahnya, maka “Jihad Advokasi” tepat diterapkan sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan yang langsung menyentuh masyarakat (grass root).
Lantas, jika dikaitkan dengan realitas tentang buruknya tradisi penegakan hukum di republik ini, tentunya ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Muhammadiyah untuk semakin menegaskan jatidirinya sebagai gerakan perlawanan terhadap kemunkaran dan ketidakadilan. Praksisnya, dengan menggalakkan Jihad Advokasi diharapkan Muhammadiyah kelak bisa lebih memberi maanfaat bagi kemaslahatan ummat dan bangsa.
Dalam hal cakupannya, ladang perjuangan jihad advokasi tentunya lebih luas dibanding jihad konstitusi. Jika Jihad Konstitusi mungkin hanya efektif dikerjakan oleh Muhammadiyah di level pusat, maka Jihad Advokasi justru sangat mungkin dilakukan Muhammadiyah di seluruh level, mulai dari pusat, wilayah, daerah, cabang bahkan ranting.
Begitu juga dengan ortom-ortom Muhammadiyah dan termasuk lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah (terutama PTM), tentunya bisa mengambil peran yang signifikan dalam mendukung gerakan Jihad Advokasi ini.
Penutup
Begitulah. Muhammadiyah sebenarnya (the real Muhammadiyah) itu bukan yang melazimkan suatu kezaliman. Bukan pula diam dan apatis disaat negara sedang dirundung aneka persoalan, kemunkaran dan ketidakadilan. Bersama dan untuk negara Muhammadiyah selalu siap sedia hadir untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (bonum commune).
Artinya, ketika negara (pemerintah) melakukan sesuatu yang positif, tidak ada alasan bagi Muhammadiyah untuk tidak mendukungnya. Justru Muhammadiyah berkewajiban menyokongnya. Tetapi, ketika negara melakukan “kekeliruan” dan kezaliman, terutama terhadap kaum mustad’afin (the have not), maka Muhmmadiyah pun tidak akan merasa tabu dan takut untuk meluruskan dan mengoreksinya. Dan salah satu caranya yaitu lewat gerakan “Jihad Advokasi” (*)
Penulis adalah Pemred TAJDID.ID