Oleh: Haedar Nashir
Pertengahan Oktober 2019, bersama istri tercinta mencuri waktu ke Venesia. Kota ikonik klasik dunia di Itali utara. Acara utama sebenarnya menghadiri konferensi internasional tokoh agama dunia bertajuk “Bridges of Peaces, Religions and Cultures in Dialogue”.
Diselenggarakan oleh Community of San’t Egidio Archdiocese of Bologna, di kota tua Bologna Itali. Saya menyampaikan bahasan “Bridges of Peaces, Religions and Cultures in Dialogue”.
Dari Venesia semua bisa diceritakan. Tentang Piazza San Marco pusat turis dengan pemandangan ikonik seperti Basilika Santo Markus, Istana Doge, dan pusat cenderamata. Lokasinya ditempuh setelah melewati kanal besar dengan bus air atau vaporetto.
Mereka yang datang terpesona, pulang tentu dengan kenangan indah. Meski boleh jadi mereka lupa atau tidak tahu bahwa Venesia menjelma jadi kota ikonik dalam sejarah yang panjang, terjadi sekitar tahun 542 Masehi pasca meluasnya wabah penyakit di kawasan timur Itali.
Sejak itu makin banyak orang datang ke Venesia. Artinya, wabah pernah meluas di Itali timur dan berdampak ke Venesia di utara, yang saat itu ada di bawah kekaisaran Romawi.
Cerita indah Venesia berubah setelah wabah Covid-19 melanda dunia. Itali termasuk negara Eropa pertama yang terserang dahsyat. Kota Bologna dan Venesia, lebih-lebih Milan, yang berada di kawasan utara, dikabarkan termasuk parah.
Kini, Itali menempati urutan tertinggi ketiga wabah Corona setelah Amerika Serikat dan Inggris, sejak penyebarannya pada 21 Februari. Sampai 16 Mei 2020 yang meninggal di negeri sepakbola Seri A ini mencapai 30.201 jiwa.
Dubes Itali di Indonesia, ketika saya kirimi ucapan belasungkwa dan empati atas tingginya kematian di negerinya, menyampaikan terimakasih yang mendalam.
Valeria, aktivis San’t Egidio, saat saya sampaikan dukungan moral untuk rakyat Itali, dengan haru menyampaikan balasan.
Corona telah menjelma jadi pandemi mematikan, yang menyerang siapa saja tanpa kenal batas negara, bangsa, agama, ras, dan golongan. Semua menyimpan duka mendalam.
Seluruh tatanan kehidupan porakporanda dan mobilitas sosial pun lumpuh. Ancaman virus ini masih di hadapan kita, kendati kita berharap badai segera berlalu.
Karenanya rasa empati dan sikap ta’awun tanpa sekat menjadi niscaya terus kita gelorakan dengan sesama hingga ke ranah semesta. Bak api yang harus terus kita nyalakan dan tidak boleh padam.
Bila sebagian langkah negara tampak gamang, rakyat selaku pemilik negeri harus tetap tegar meski bergelut beban. Sebaliknya sikap arogan, egois, tidak peduli, dan menyepelekan keadaan mesti dibuang jauh.
Lebih dari cukup betapa pandemi ini telah menelan ratusan ribu korban di berbagai belahan dunia. Lihatlah para dokter dan petugas kesehatan yang harus berjibaku dengan seribusatu resiko bertaruh nyawa.
Pemerintah dan warga tak boleh gegabah, hanya karena merasa negerinya tidak terkena wabah sebesar negeri-negeri lain. Kematian satu orang pun sangat mahal, apalagi ratusan nyawa.
Kita memang tidak boleh panik, namun perkataan-perkataan dan langkah yang terkesan meringankan wabah juatru menunjukkan ketidakarifan, ketika banyak anak manusia telah menjadi korban serta para petuas medis sedang bertaruh nyawa dalam menjalankan tugas kemanusiaan.
Berhentilah merasa diri perkasa dan kebiasaan menggampangkan urusan. Introspeksi diri agar hidup makin arif, merasa memerlukan orang lain, dan mengakui Kemahakuasaan Tuhan Semesta Alam.
Bagaimana kabar Venesia saat ini? Kota wisata dunia ternama nan eoksotik itu, menjadi sunyi dan seolah mati karena pandemi. Namun di balik musibah, selalu terkuak hikmah. Info terbaru mewartakan, saat ini air di kanal-kanal Venesia menjadi jernih.
Ikan-ikan pun menyeruak ke permukaan, menemukan ekosistemnya yang aseli. Panorama ini mengingatkan memori pada era Laguna Venesia di masa kuno yang serba alami.
Meminjam mazhab ekologi baru “back to nature”: Alam kembali alamiah. Manusia berlabuh ke habitatnya nan aseli, menjadi kembali manusiawi.
Peleman, Sabtu senja, 16 Mei 2020.
Tulisan ini diangkat dari sebuah utas (untaian tweet) di akun twitter Haedar Nashir