Oleh: Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)
Dengan sila 4 mestinya hanya satu pemilihan langsung yang wajib dilaksanakan menurut Pancasila, yakni saat menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif yang kelak salah satu tugas utamanya memilih presiden, gubernur, bupati dan walikota atas nama rakyat |
Di luar keluasan realitas sosial yang menyimpang dari Pancasila selama ini (kadar kebertuhanan, sila 1; realitias penerapan prinsip kemanusiaan, sila 2; soliditas persatuan, sila 3; dan agenda terbengkalai untuk realisasi ide besar keadilan sosial, sila 5), dihadapkan dengan fakta pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota secara langsung selama ini, sebetulnya telah terjadi pelanggaran terhadap sila 4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Meskipun narasi kunci regulasi pilkada adalah “dilaksanakan secara demokratis”, namun diperbandingkan dengan sila 4 Pancasila pemilihan langsung (Pilkada) jelas sekali sebuah pengingkaran. Dengan sila 4 mestinya hanya satu pemilihan langsung yang wajib dilaksanakan menurut Pancasila, yakni saat menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif yang kelak salah satu tugas utamanya memilih presiden, gubernur, bupati dan walikota atas nama rakyat.
Dulu pro dan kontra pilkada bergulir dengan kuantitas kecil tuduhan sebagai penentangan terhadap Pancasila karena pertimbangan yang lebih mengemuka adalah mudharat atau manfaat dihubungkan dengan berbagai praktik buruk (massifikasi politik uang yang mengokohkan wajah demokrasi Indonesia sebagai tawar-menawar transaksional, dan lain-lain). Sinyalemen tentang kuatnya dorongan bagi pemenang untuk korupsi, untuk menutupi pembiayaan “sewa perahu” dan transaksi massif meraup suara pemilih, adalah tragedi susulan di tengah kondisi kemiskinan struktural yang akhirnya menjadi mainstream budaya politik. Realitas ini adalah sebuah pradoks mengingat perkuatan budaya korupsi terus dilakukan antara lain dengan pilkada.
Pada penghujung periode pemerintahan SBY disahkan revisi UU mengembalikan pilkada menjadi urusan legislatif (No 22/ 2014). Tetapi tak berselang waktu lama SBY segera menerbitkan Perppu No 1/2014 untuk membatalkannya, padahal UU itu adalah inisiatif Presiden. Revisi UU itu pun tak secara substantif memasuki inti masalah, karena jika tetap berlaku akan menjadi aneh: pilpres langsung dan pilkada tak langsung.
Karena itu sangat diperlukan perbaikan legalframework pilkada dan semua (termasuk pilpres) agar tidak bertentangan dengan Pancasila.
Selain itu bentuk-bentuk anomaly yang dapat disinyalir sebagai akibat dari pilkada langsung antara ialah sulitnya memenuhi keinginan beroleh pemimpin daerah yang baik,karena hegemoni partai melimpahkan wewenang penentuan calon kepada pimpinan partai di Jakarta dan sangat sulit dijamin bahwa prose situ tidak diwarnai oleh praktik buruk. Belakangan juga muncul fenomena pasangan tunggal dalam pilkada. Itu hanya ekspresi serius lainnya dari oligarki partai yang diabadikan oleh demokrasi transaksional khas Indonesia yang demi kekuasaan tak malu berurusan dengan kotak kosong.(*)