TAJDID.ID-Malang || Cendekiawan muda Muhammadiyah saat ini harus mampu mengkapitalisasi ilmu untuk membaca arah zaman. Pembacaan terhadap laju zaman hanya dapat terealisasi dengan baik jika cendekiawan muda Muhammadiyah tidak terjebak pada simulacra.
Demikian dijelaskan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir saat memberikan peta isu sentral yang harus dibahas dalam kegiatan Kolokium Nasional Interdisipliner Cendekiawan Muda Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Jumat (6/3).
Dijelaskan Haedar, simulacra merupakan realitas semu yang diproduksi oleh sebuah industri komunikasi massa yang mengaburkan fakta melalui konstruksi realitas buatan secara masif. Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat saat ini, realitas telah hilang dan kebenaran seringkali menguap.
Agar tidak terjebak dengan simulacra, Haedar menegaskan agar cendekiawan muda Muhammadiyah tahu isu-isu sentral yang sedang dihadapi.
Isu sentral pertama tentang perumusan visi keislaman dan keindonesiaan. Kita beruntung memiliki dokumen sejarah yang tertulis. Konsep tersebut dalam Muhammadiyah kini telah menjadi peneguh identitas dalam memilih wujud relasi Islam dan Indonesia yang disebut sebagai dar al-Ahdi wa as-Syahadah.
“Muhammadiyah menyegel keislaman dan keindonesiaan dengan dar al-Ahdi wa as-Syahadah,” jelas Haedar.
Isu sentral kedua menurut Haedar adalah wacana radikalisme. Dalam persoalan ini cendekiawan muda Muhammadiyah harus mampu mengedepankan moderasi dibanding deradikalisasi.
Bagi Haedar, deradikalisasi merupakan gerakan radikalisme dalam bentuk yang lain, sehingga jalan moderat merupakan solusi paling tepat untuk menahan laju ekstremisme.
Menurut Haedar, kalangan muda Muhammadiyah harus mengelaborasi konsep moderasi dalam Muhammadiyah sebagai solusi fenomena radikalisme ekstrim yang terjadi di Indonesia.
“Kita tentu saja mengakui ada ekstremisme dalam beragama. Namun fenomena radikal ekstrem itu bukan hanya pada agama, ada pada primordialisme kesukuan, ada pada ideologi, politik dan ekonomi,” kata Haedar.
Isu sentral selanjutnya yaitu hubungan Islam dan politik. Dalam hal ini perlu untuk mengelaborasi seberapa jauh mana yang subtantif dan mana yang ijtihadi.
“Berilah perspektif yang dapat akomodatif, bagaimana politik Islam? Ini agenda yang harus dipikirkan,” ujarnya.
Haedar mengatakan bahwa usaha mewujudkan relasi Islam politik harus didasari realitas akan keniscayaan kebinekaan yang ada di negara Indonesia. Wacana Islamisme, sekularisme, dan nasionalisme, merupakan wacana yang telah banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan, namun Haedar Nashir berharap kalangan muda Muhammadiyah dapat berpikir strategis melampaui dari ketiga wacana tersebut.
Kemudian isu sentral terakhir adalah diskusi positif atas eksistensi gerak juang Muhammadiyah sendiri di pentas nasional dan internasional. Persoalannya, menurut Haedar adalah belum adanya pembiasaan untuk membaca dan memahami secara menyeluruh dokumen-dokumen penting.
“Sebut saja Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, hingga Manhaj Tarjih Muhammadiyah, tokoh-tokoh Muhammadiyah bisa jadi ada yang belum membaca secara lengkap karya tersebut,” sindir Haedar.
Menurut Haedar, menjadi tugas generasi muda Muhammadiyah untuk membaca seluruh isi putusan persyarikatan agar nantinya tidak terombang ambing dalam membaca realitas zaman di masa depan.
“Kalau perlu, kalangan muda Muhammadiyah melakukan upaya sistematisasi dan menelurkan turunan-turunan dari berbagai karya tersebut untuk diaplikasikan dalam rangka mewarnai berbagai ranting dan amal usaha Muhammadiyah di kalangan masyarakat,” pungkas Haedar. (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id