TAJDID.ID-Sidoarjo || Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan Muhammadiyah melalui konsep Darul Ahdi Wa Syahadah telah melakukan ijtihad politik Islam yang bersifat tadjid (baru).
Hal tersebut diungkapkan Haedar saat membuka Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang diselenggarakan di UM Sidoarjo pada Selasa (3/2).
“Jadi ini bentuk dari ijtihad politik Muhammadiyah dan bisa masuk dalam referensi fiqih syiyasah Islam yang baru. Termasuk diantaranya bagaimana relasi antara Islam dan negara,” tegas Haedar.
Dikatakan Haedar, konsep negara Darul Ahdi Wa Syahadah merupakan konsep dan dokumen resmi dari Muhammadiyah yang disahkan di muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar. Dan menjadi satu-satunya dokumen resmi yang dimiliki oleh organisasi Islam mengenai posisi tentang Islam dan negara.
Lebih jauh Haedar menjabarkan, Muhammadiyah punya pemikiran, bahwa posisi umat Islam terhadap NKRI sebenarnya sudah selesai ketika para pendiri Republik ini termasuk yang mewakili tokoh Islam diantaranya Ki Bagus Hadikusumo (Ketua HB Muhammadiyah) yang masuk dalam anggota BPUPKI maupun tokoh-tokoh Islam untuk lahirnya piagam Jakarta telah selesai bersepakat menjadikan Indonesia dalam konteks umat Islam sebagai kesepakatan.
“Melalui itu Muhammadiyah ingin bahwa kesepakatan nasional dimana tokoh-tokoh Islam itu sudah meletakan pondasi agar tetap menjadi patokan kita berbangsa dan bernegara termasuk dalam relasi Islam dan negara,” sebutnya.
Maka dari itu, lanjut Haedar, Muhammadiyah merumuskan ini agar kalau dalam bahasa awam “kita menyegel” tidak ada lagi pikiran yang diaktualisasikan kedalam gerakan dan usaha-usaha untuk mendirikan bentuk negara lain di luar konsep dasar dan pemikiran negara yang sudah disepakati bersama.
Menurut Haedar, negara yang sudah disepakati bersama yakni NKRI sebaggai negara Pancasila. Ada beberapa hal kata Haedar yang mendasari konsepsi Darul Ahdi Wasy Syahadah. Pertama, adalah landasan teologis yaitu dalam konteks Islam tidak kemudian mempunyai konsep tertentu mengenai sistem tentang negara, kekuasaan dan tentang politik.
Sekalipun ada kata Khilafah, urai Haedar, secara detail dan teknis konsep Khilafah tidak merujuk berbentuk sistem politik, kekuasan, dan negara tertentu. Karna mengenai sistem negara yang kemudian dikaitkan dengan sistem khilafah itu bersifat ijtihad.
Kedua, alasan historis. Setelah Nabi Muhammad SAW selesai menjalankan risalahnya di Madinah, dan Muhammadiyah menyebut Madinah sebagai al-madinah al munawarah yaitu sistem peradaban yang maju dengan sitem yang maju.
Di sana memang ada elemen politik tetapi tidak menunjukkan satu sistem negara tertentu. Nabi saat itu tidak menunjuk siapa yang menggantikan beliau, karena itu adalah wilayah ijtihad. Maka terbentuklah Kekhalifahan utama dari Masa Abu Bakar sampai Ali Bin Abi Thalib yang kemudian disebut sebagai kekhalifahan utama sampai kepada kekhalifahan setelahnya.
Jauh yang terpenting lagi, lanjut Haedar, adalah Muhammadiyah tidak cukup dengan merumuskan Darul Ahdi Wasy Syahadah tetapi bagaimana Muhammadiyah turut membangun Indonesia. Sejak awal dan sampai hari ini, Muhammadiyah terlah menunjukkan watak Umatan Wasathan.
“Muhammadiyah tidak cukup dengan itu, tetapi bagaimana Indonesia itu harus dibangun. Muhammadiyah senantiasa mengimplementasikan umatan wasthan yang punya fungsi litakunu syuhada, dimana Muhammadiyah tidak hanya akan membangun tetapi sudah membangun negara ini,” ujar Haedar.
Untuk itu, Haedar mengajak warga Muhammadiyah dan kelompok elemen negeri ini melalui Darul Ahdi Wasyahadah itu memberi kesaksian pada republik ini bahwa Muhammadiyah akan menjadikan negara Pancasila dengan komitmen membangun dan mengisi negara ini.
“Karena itu kita mengajak kepada banyak pihak mereka yang merasa paling Indonesia, paling Pancasila dan paling NKRI. Mari, bunyikan ke-Indonesiaan dan ke-Pancasilaan itu sejalan dengan niali-nilai dasar Pancasila,” ajak Haedar. (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id