TAJDID.ID || Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyayangkan rencana Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang akan menutup SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo, akibat adanya kejadian perundungan (bully) tiga siswa terhadap siswi berkebutuhan khusus CA.
“Kami menyayangkan pernyataan Gubernur Ganjar yang akan menutup SMP Muhammadiyah Butuh,” kata Mu’ti dikutip dari Antara saat dihubungi, Sabtu (15/2).
Dia mengatakan jika itu benar dilakukan maka hal tersebut merupakan keputusan yang bertentangan dengan Undang-undang Sisdiknas 20/2003. Dalam regulasi tersebut, masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Kemudian, kata dia, rencana itu bertolak dengan Undang-undang Pemerintah Daerah dengan wewenang pembinaan SD dan SMP sejatinya berada pada pemerintah kabupaten/kota bukan pada pemerintah provinsi.
Abdul Mu’ti mengatakan usaha Gubernur Ganjar yang akan memindahkan dan membiayai siswi CA ke sekolah luar biasa (SLB) merupakan niat yang mulia. Menilik CA adalah siswi dengan disabilitas.
Akan tetapi, kata Mu’ti, niat tersebut bertentangan dengan berbagai peraturan dan hak asasi manusia di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 17/2010 dan perubahan pada Peraturan Pemerintah 66/2010 khususnya pasal 53 tentang pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, menurutnya upaya Ganjar itu tidak selaras dengan pernyataan Salamanca 1994 yang disetujui negara-negara anggota UNESCO yang menyebutkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas harus mendapatkan layanan pendidikan dan sesuai berbagai kajian layanan yang terbaik adalah melalui pendidikan inklusi.
“Mengirim CA ke SLB juga tidak sesuai dengan hak asasi manusia karena setiap orang berhak untuk menentukan pilihan atas masa depan mereka,” ujarnya.
Meskipun demikian, Mu’ti menyebut komunikasi antara Muhammadiyah dengan pemerintah termasuk dengan Gubernur Ganjar tidak ada masalah dan terjalin baik. Meski begitu, Muhammadiyah menyampaikan perlu ada pertimbangan yang matang dalam menyikapi kasus perundungan CA.
“Semua pihak perlu saling bekerja sama melakukan pembinaan karakter dan akhlak mulia bagi anak-anak. Perlu pembinaan intensif dan pengembangan sekolah ramah anak, toleran dan saling menghormati,” katanya.
Muhammadiyah, kata dia, saat ini berusaha memperbaiki layanan pendidikan bagi masyarakat. Khusus siswi CA akan diberikan pendampingan oleh tim dari Universitas Muhammadiyah Purworejo. SMP Muhammadiyah Butuh berpotensi dikembangkan menjadi sekolah model untuk pendidikan inklusif.
Mu’ti mengatakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan prihatin dan sangat menyesalkan terjadinya perundungan di SMP Muhammadiyah Butuh.
Kejadian tersebut, kata dia, sangat bertentangan dengan prinsip dan kebijakan Muhammadiyah yang berusaha mengajarkan sikap dan perilaku welas asih dan sopan santun sebagai ajaran Islam dan budaya bangsa Indonesia yang luhur.
“Atas nama pihak sekolah, PP Muhammadiyah memohon maaf kepada keluarga dan masyarakat karena belum mampu memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik. Muhammadiyah mendukung sepenuhnya langkah-langkah pemberian sanksi dan hukuman bagi pelaku perundungan sesuai ketentuan dan hukum yang berlaku,” katanya.
Sementara itu, dikutip dari muhammadiyah.or.id, Mu’ti bercerita, bahwa SMP Muhammadiyah Butuh telah berdiri tahun 1989. Pada awalnya jumlah siswanya cukup banyak. Berdirinya sekolah negeri berdampak pada berkurangnya siswa.
“Tetapi SMP Muhammadiyah Butuh tetap berprestasi dan banyak alumninya berhasil dalam karir professional,” terang Mu’ti pada Jum’at (14/2).
SMP Muhammadiyah Butuh, dalam kasus ini menerima tiga siswa pindahan yang karena dikeluarkan dan ditolak oleh sekolah negeri.
“Dengan segala keterbatasan dan komitmen melayani masyarakat anak-anak ‘bermasalah’ tersebut diterima dengan harapan dapat dibina dengan baik,” tuturnya.
Mu’ti menegaskan, bahwa jadi tidak adil kalau hanya karena satu kasus sekolah ditutup.
“Kalau mau dibuka, kekerasan di sekolah masih banyak terjadi termasuk sekolah negeri. Apakah pemerintah akan menutup sekolah-sekolah itu?,” tegas Mu’ti.
Diakhir, Mu’ti mengatakan bahwa, masih ada masalah dan kekurangan itu tidak bisa dipungkiri.
“Itulah yang menjadi tugas kita bersama. Sebaiknya para pejabat pemerintah memahami masalah secara komprehensif dan tidak mengambil kebijakan yang emosional,” tutupnya. (*)