Suheri Harahap MSi, Dosen UIN-SU, Tokoh Pemuda Sumut dan Bakal Calon Bupati Tapanuli Selatan pada Pilkada 2020
Seorang pemikir zaman renaisans Niccolò Machiavelli (1469-1527), telah berhasil menciptakan sebuah teori politik-kekuasaan kekuasaan yang cukup fenomenal, sekaligus kontroversial. Pemikiran dan gagasan tentang teori “Politik Menghalalkan Segala Cara” itu ia tuangkan secara apik lewat karyanya “Il Principe” (The Prince/Sang Penguasa). Kendati buku itu banyak mendapat kritik dan kutukan, namun diam-diam banyak juga politisi dan aktor kekuasan yang terpesona dan menjadikannya hand-book dalam sejarah politik dunia, bahkan di Indonesia.
Dalam teorinya itu Machiavelli menyebut, bahwa ‘siapa yang menguasai senjata dia akan mengalahkan yang tidak menguasai senjata’.
Begitulah. Senjata dalam politik adalah modal. Modal menjadi penting dalam pertarungan politik, tidak terkecuali dalam konteks kontestasi pemilihan pemimpin lewat pilkada.
Dapat dipastikan, hampir mindset semua partai politik telah mengamini dan menguatkan teori ini, sehingga siapapun calon pemimpin harus melewati tahapan dengan perspektif modal.
Dalam aliran ideologi liberalisme, faham yang mengajarkan tentang freedom, kebebasan bagi invidivu dalam menguasai produksi sehingga muncul kekuasaan pemilik modal akan menguasai kekuatan ekonomi dan politik. Paham liberalis ini juga terus berjuang dengan menggunakan modal (kapital) dengan segala cara untuk menguasai sumber daya alam yang ada demi kepentingan politi-ekonomi global.
Indonesia sebagai negara yang dilahirkan dengan ideologi Pancasila dengan falsafah gotong-royong sebagai budaya bangsa dan menggunakan politik Pancasila yang berbeda dengan ideologi-ideologi besar dunia seperti liberalism, kapitalisme, sosialisme, marxisme, komunisme dan Islam. Pancasila harus digelorakan sebagai payung hukum dalam perebutan kekuasaan di Indonesia bahkan dalam mewujudkan pemikiran politik Soekarno tentang Trisakti (berdikari, berdaulat dan berkepribadian) akan terasa penting untuk dicapai oleh para pemimpin dari semua tingkatan pusat sampai daerah.
Dulu banyak pemimpin masuk penjara dulu baru jadi pemimpin, tapi sekarang jadi pemimpin dulu baru masuk penjara. Jadi kepala daerah bukan akhir, tapi mensejahterakan rakyat adalah amanah konstitusi UUD 1945 dan tujuan negara yang termaktub dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Apakah penyelenggara pemilu mampu melaksanakan semua tahapan pilkada sebagai wujud perebutan kekuasaan secara jurdil dan demokratis di negeri ini? Kesiapan kita untuk melakukan transisi demokrasi dengan mendorong Pilkada yang independen dan bebas politik uang. Rakyatlah pemegang kedaulatan dalam demokrasi di Indonesia bukan uang dan kekuasaan serta bukan raja seperti dalam negara teokrasi. Disamping itu, nilai-nilai agama menjadi penting untuk meminimalisir berbagai kecurangan dan motif politik. Prilaku politisi yang bergabung dengan partai politik sedang diuji dalam berdemokrasi, sebab partai politik sebagai pilar demokrasi jangan sampai menjadi alat kekuasaan tapi sebagai tempat rakyat untuk menyalurkan aspirasi politik yang bebas dan transparan.
Tahun 2020 sebagai tahun pilkada akan dilaksanakan secara serentak termasuk di Tapanuli Selatan. Daerah ini merupakan kawasan yang sangat kuat agama Islam dan adat budaya Angkola dengan sistem kekerabatan “dalihan na tolu”.
Adalah fakta yang tak dapat dipungkiri, bahwa tradisi politik yang sering dipraktekkan selama ini dalam merebut kekuasaan adalah dengan mengandalkan kekuatan modal (hepeng) atau dalam bentuk praksis ldengan menggunakan strategi ‘serangan fajar’.
Watak demokrasi yang seperti inilah yang akan kita lawan. Deklarasi Dewan Adat Raja Angkola Sipirok sedang diuji, mampukah rakyat yang katanya daerah serambi mekkahnya Sumut yang kuat agama dan adat melawan kekuatan modal. Sudah saatnya Pilkada langsung bisa mengubah paradigma berpikir masyarakat dari capital oriented ke cultural oriented, menuju peradaban yang kuat.
Spirit inilah yang menjadi tantangan bagi putra/putri Tapsel yang ingin meretas pandangan dengan konsepsi budaya perlawanan politik “Marsialap Ari” sebagai konsepsi budaya lokal dengan pandangan hidup leluhur yang mulia dalam tatanan sosial hidup bersama-sama, bergotong-royong, bahu-membahu, ‘rap tu ginjang, rao tu toru’, ‘marsipature hutana be’.
Tantangan ini cukup berat tapi mulia. Rakyat harus dicerdaskan, diberdayakan dalam pendidikan politik budaya dalihan na tolu. Rakyat Tapsel akan semakin sadar bahwa tanah adat/ulayatnya sudah dirampas oleh tambang, perkebunan, PLTA hutan lindung dan sebagainya. Mereka mulai sadar bahwa sejak tahun 1980 an sebelum Tapsel dimekarkan tanah, hutan, kayu sudah dihabisi, 20 tahun berikutnya banyak kawasan yang luas menjadi perkebunan kelapa sawit yang pemiliknya dan dampaknya terasa bagi rakyat, ledakan penduduk asli dan pendatang semakin mengancam.
Tentunya kita miris melihat realitas, dimana pemanfaatan APBD untuk kepentingan investor. Rakyat Tapsel hanya mendapatkan dampak sosial, ekonomi dan budaya. Ditambah banyak orang yang kaya dari Tapsel dan membawa hasilnya ke luar Tapsel. Kapan lagi rakyat Tapsel merasakan sebesar-besar kemakmuran atas sumber kekayaan alamnya.
Mereka masih sulit menyekolahkan anaknya S1, S2 S3, mestinya masih dalam kandungan orang tuanya sudah bisa bercita-cita untuk masa depan anaknya. Harusnya kita sudah memiliki SMA Plus dan perguruan tinggi berkelas internasional, punya rumah adat Bagas Godang yang menjadi periwisata budaya yang diminati turis ditambah kehebatan alam dan danau sias serta peninggalan situs perbakala yang dipugar sebagai tujuan wisata.
Tidak diragukan lagi, sangat dibutuhkan kehadiran pemerintah dalam memperjuangkan hak dasar rakyat. Dan hadirnya tambang emas terbesar di Indonesia harus memberi kemajuan di seluruh wilayah Tapsel. Bukan hanya pemimpin yang mengejar WTP dan penghargaan sebagai daerah yang maju, tapi rapuh dengan kondisi masyarakat dan lemahnya keberpihakan kepada kondisi rakyat.
Kemiskinan dan pengangguran terbuka akan terus bertambah, investor belum melirik tenaga kerja lokal terampil, penurunan jumlah sarjana di desa terus bertambah karena persoalan penurunan produktifitas hasil pertanian. Migrasi antar desa belum dengan konsep bapak angkat di wilayah perkebunan inti rakyat belum terwujud. Perluasan/pwnambahan areal kawasan terus terjadi, eksploitasi alam atas nama sumber daya energi terbarukan sebagai konsep negara yang tak terbendung. Pengakuan akan identitas semakin dterus dilemahkan, ‘dijajah’, ‘ketergantungan’ dan rakyatnya tetap miskin.
Pilkada jangan menjadi ajang ‘cari pekerjaan baru’ untuk menambah kebutuhan hidup, dan mau dibayar. Ini kesempatan masyarakat Tapsel melawan pelbagai paham destruktif, seperti paham permisivisme, pragmatism, individualisme dan machiavellianisme yang serba melegalkan segala cara.
Sudah saatnya kita menyadari, masyarakat adat dan putra/putri Tapsel akan dijuahkan dari rasa memiliki terhadap daerah, raja-raja adat sulit bersatu karena masih menjadi agen (aktor) yang mengatasnamakan adat untuk tujuan kepentingan pribadi dan juga rendahnya pendidikan dan faktor ekonomi sebagai penyebab politik uang masih sulit dihilangkan.
Maka, mari jadikan Pilkada Tapsel ajang mencari pemimpin baru bukan pertarungan pemilik modal yang menguasai sumber daya alam Tapsel. Jangan lagi kita dibodoh-bodohi dengan janji-janji, rakyat harus lawan politik uang. Mari kuatkan identitas menuju “Tapsel Beriman, Berkarakter, Berbudaya”. (*)