TAJDID.ID-Medan || Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang dipimpin oleh Bapak Edy Rahmayadi harus mampu mewujudkan fungsi tata kelola pemerintahan yang terkoordinasi dan terintegrasi serta mendorong kerjasama antarlembaga, propinsi dan kabupaten/kota dengan cara colaborative governance yang ditujukan untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan di Sumatera Utara.
Demikian buah pikiran yang disampaikan Dosen FIS UIN SU dan UMSU Suheri Harahap MSi menyikapi perseteruan antara Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dengan Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Ahmad Sibarani yang beberapa hari terakhir begitu menghebohkan publik.
Suheri mengatakan, perseteruan yang tidak produktif itu harus segera diberhentikan. Keduanya (Eri dan Bakhtiar-red) harus menghindari pernyataan yang melahirkan polemik apalagi dianggap sebagai bentuk hegemoni kekuasaan dan bersifat prematur, tendensius, sensasional dan sentimen.
“Kalaupun tidak bisa dihindari, berdebatlah dengan menggunakan data objektif dan ilmiah hasil temuan di lapangan,” ujarnya kepada TAJDID.ID di Medan, Jum’at (20/12/2019).
Baca berita terkait: Konflik Edy-Bakhtiar Jenisnya Bukan Permusuhan
Seperti diketahui, perseteruan ini berawal dari pernyataan Edy Rahmayadi beberapa hari yang lalu.
“Waktu saya mau jagi gubernur, saya dibawa oleh relawan ke Tapanuli Tengah, begitu saya masuk kesana, orang miskin semua disana, nggak jadi saya kampanye. Akhirnya saya sekarang mau balik ke Tapanuli Tengah, eh bupatinya begitu, tak cocok jadi bupati, gimana tak miskin rakyatnya, tak ada sayangnya sama rakyat,” ujar Edy . di Aula Raja Inal Siregar Jlm Diponegoro Medan. ” (17/12/2019).
Apa yang disampaikan Edy sangat berdampak secara politis bagi Bupati Tapteng Bapak Bakhtiar Sibarani, sehingga ia langsung merespon di media, bahkan menantang untuk dibuat survei independen dan menyebut pernyataan Gubernur sebagai sentimen pribadi.
Kemudian plemik terus lanjut. Dan pada hari ini dalam berita Harian Waspada (20/12/2019) Gubsu menyebut Bupati Tapteng ‘durhaka’ karena melawan.
Suheri melihat polemik yang dipertontonkan Edy dan Bakhtiar sebagai prilaku pemimpin yang masing-masing mempertahan ego dan karakter yang saling membenarkan, bahkan tidak memberi edukasi kepemimpinan daerah yang sehat.
“Rakyat bisa bingung, apalagi kasusnya temuan terhadap orang miskin di Tapteng. Apa sebenarnya motif gubernur menyampaikan contoh kasus ini ke publik? Kenapa harus di Tapteng, dan peristiwanya sudah lama terjadi? Ini menjadi pertanyaan publik sehingga dugaan yang berkembang adalah imbas Pilgubsu 2019 atas perbedaan dukungan dengan Bupati Tapteng,” kata Suheri.
Menurut Suheri, polemik yang tidak produktif ini tentu akan mengganggu koordinasi dan komunikasi dalam birokrasi pemerintahan. Kemudian
Baca berita terkait: Perseteruan Edy-Bakhtiar, Pemuda Muhammadiyah: Kondusifitas Sumut Harus Lebih Utama
Lebih lanjut ia menilai, Gubsu terlalu dini menyebut adanya orang miskin di suatu kabupaten. karena bisa berimplikasi menimbulkan kesan bupatinya tidak. Suheri mempertanyakan, adakah cara penilaian seperti ini lazim digunakan dalam pemerintahan. Begitu juga dengan Bupati Tapteng juga terlalu reaksioner menanggap pernyataan tersebut dan balas membuat penilaian kepada Gubsu, apa yang sudah dilakukan selama ini.
“Ini lucu, mengapa keduanya masing-masing menilai. Padahal dalam Trias Politika yang kita anut ada prinsip separation of power, yakni pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif . Artinya ada yang menjalankan dan ada yang mengawasi kekuasaan dengan menggunakan mekanisme check and balances serta melibatkan masyarakat juga,” jelasnya.
Menurut Suheri, dalam konteks inilah perlunya seorang pemimpin menggunakan administrasi pemerintahan dalam mengelola data dan temuan lapangan.
Apakan kemiskinan menjadi agenda prioritas Gubernur Sumut ? Lalu bagaimana dengan kebijakan yang dibuat dalam RPJM, RPJP, sehingga dapat terimplementasi dalam anggaran APBD Sumut? Itulah sederet pertanyaan yang menurut Suheri harus diperjelas duduk perkaranya.
“Bagaimanapun kemiskinan di Sumut harus secara bersama-sama baik pusat propinsi dan kabupaten/kota menanggulanginya secara kebijakan (policy),” tegas Suheri.
Suheri menilai persoalan antara Gubernur dan Bupati Tapteng adalah persoalan persaingan politik, bukan jabatan. Jadi, katanya, kasihan orang miskin dijadikan pintu masuk untuk diperdebatkan tanpa melalui kajian akademis dan survei kondisi kemiskinan di Sumut.
“Sangat disangkan. Bukan untuk disesalkan secara kebijakan, malah saling bertahan dengan argumentasi politis tanpa gebrakan yang paripurna untuk rakyat terbebas dari kemiskinan. Karena itu, kita menunggu cara-cara gubernur dan bupati untuk adu ide dan gagasan untuk mengurangi kemiskinan,” kata Suheri.
Kemudian, Suheri juga meminta masyarakat dan media tidak memperpanjang isu yang tidak produktif tersebut. Seharusnya masyarakat dan media membantu mengungkap strategi apa yang dilakukan mereka (Edy dan Bakhtiar) dalam memajukan daerah.
“Cara gaduh sudah tidak zamannya lagi, tarikan politik senantiasi menjadi isu dalam kebijakan. Semoga Pak Gubernur dan Pak Bupati bisa ngopi bareng menjaga kondusifitas untuk hadirnya investasi di daerah agar lapangan kerja terbuka buat rakyat,” tutup Suheri. (*)
Liputan: M. Risfan Sihaloho