TAJDID.ID-Medan || Perseteruan antara Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi dan Bupati Tapanuli Tengah (Tengah) Bakhtiar Ahmad Sibarani masih bergulir. Perseteruan ini berawal saat Edy menyoroti kemiskinan di Tapteng dan kepemimpinan Bakhtiar.
Menanggapi hal tersebut, Sosiolog FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar) mengatakan, bahwa dalam pemeritahan sipil selalu ada latar belakang politik yang dapat menyebabkan konflik. Menurutnya jenis konflik itu ada dua macam, yakni horisontal dan vertikal.
“Tetapi harus diingat, konflik tak berarti dunia akan kiamat. Konflik tak pernah hilang selama kehidupan masih terbentang,” ujar Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini kepada TAJDID.ID, Kamis (19/12/2019).
Dikatakannya, konflik horisontal sangat lazim dimana sesama orang selevel dalam organisasi yang sama sikut-sikutan. Berhubung atasan langsung mereka adalah figur yang sama, rujuk bisa dilakukan atau atasan langsung mengambil kebijakan menempatkan mereka pada separate organ dalam sistem yang sama.
“Sehingga ketimbang konflik, lebih mungkin berkompetisi sehat menggantang prestasi,” katanya.
Meski pun jarang terjadi, lanjut Shohibul, namun bukan tidak ada antara pejabat negara dalam jenjang yang berbeda (vertikal). Sungguh, ini sangat lazim. Hanya saja kebanyakan bersifat latency (di bawah permukaan) dan di antara yang berkonflik ada keasadaran memilih membiarkannya sedemikian rupa dengan harapan perlahan memasuki tahap atau kondisi tertentu yang kerap disebut stalemate.
Shohibul menjelaskan, istilah (stalemate) ini pada dasarnya dipinjam dari aturan permainan catur (draw atau remis) dan dalam pengertian khusus dimaknai sebagai sebuah keadaan ketika sebuah masalah akhirnya selesai dengan sendirinya, akhirnya terlupakan atau karena ada isu besar yang membuat mereka dengan sendirinya melupakan konfliknya sendiri.
“Saya pastikan bahwa jenis konflik kedua sangat ramai di Indonesia. Jelas tidak semua pejabat (Gubernur, Bupati, Walikota, Menteri dan satuan-satuan kerja lainnya) suka atau setuju dengan kepemimpinan dan kebijakan Presiden Jokowi, baik pada periode kabinet pertamanya mau pun periode yang baru dimulai,” sebutnya.
Tetapi karena menghitung resiko, kata Shohibul, secara diam-diam mereka yang berbeda pendapat itu memberi perlawanan meski dalam sikap formal selalu kelihatan mendukung.
“Perhatikan bukti-bukti kinerja mereka yang bertentangan dengan arahan Nawa Cita, baik dilihat dari aspek kuantitatif apalagi kualitatif. Di sana sangat kelihatan dengan kentara sikap perlawanan itu,” ungkap Shohibul.
Membaca informasi melalui media, konflik ini berawal dari pernyataan Edy Rahmayadi tentang kondisi Kabupaten Tapanuli Tengah yang dikaitkan pula dengan leadership kepala daeranya. Dari sana Shohibul simpukan bahwa jenis konflik yang terjadi adalah bentuk opponentiality .
Menurutnya, Edy tidak bermaksud merendahkan dan Bakhtiar tidak bermaksud melawan, dan keduanya sangat concern dengan misi lebih tinggi, yakni mempertanggung jawabkan amanah masing-masing untuk mensejahterakan rakyat sesuai lingkup tanggung jawab dan tugas.
“Keduanya kelihatan riuh karena satu alasan: bagaimana membahagiakan rakyat dengan kewenangan yang mereka miliki,” kata Shohibul.
Shohibul melihat, konflik jenis ini bukan permusuhan, karena tidak ada pihak yang merasa yang lain adalah musuh (enemy) baginya. Hanya saja karakter keduanya sama-sama suka berterus terang dan cukup reaktif. Itu yang menjadi hal baru dalam masalah ini.
Shohibul yakin Edy degan kewibawaan dan posisinya akan segera mengundang (bukan memanggil) Bachtiar untuk minum kopi pada suatu sore atau malam yang tidak akan diketahui orang-orang jauh. Edy tahu dampak kondisi ini bagi masyarakat, begitu juga Bachtiar.
“Bachtiar pun akan merasa tersanjung diperlakukan sebagai adik dan mendatangi abangnya dengan penuh niat baik. Pertemuan itu akan cair untuk menjadi awal bagi pembicaraan serius pembangunan daerah,” kata Shohibul.
Diketahui, Perseteruan ini berawal saat Edy menyoroti kemiskinan di Tapteng dan kepemimpinan Bakhtiar.
“Waktu saya mau jadi gubernur, dibawa saya sama relawan ke Tapanuli Tengah. Begitu saya masuk ke sana, orang miskin semua. Nggak jadi saya kampanye,” kata Edy di Aula Raja Inal Siregar kantor Gubernur, Jl Pangeran Diponegoro, Medan, Selasa (17/12/2019).
Edy menceritakan kunjungan ke Tapteng yang seharusnya digunakan untuk kampanye diganti menjadi makan bersama masyarakat. Gubernur Edy lantas menyinggung kinerja Bakhtiar yang dinilai tidak memuaskan.
“Akhirnya saya sekarang mau balik ke Tapanuli Tengah sana, eh bupatinya begitu. Tak cocok jadi bupati, gimana tak miskin rakyatnya? Tak ada sayangnya sama rakyat, kok ia jadi pemimpin?” tutur Edy.
Lantas kemudian Bachtiar Ahmad Sibarani membantah pernyataan Edy yang menyebutnya tak sayang rakyat itu. Bakhtiar meminta Edy bicara sesuai data, bukannya sentimen pribadi.
“Gubernur kalau bicara harus sesuai data, jangan karena sentimen terhadap saya,” kata Bakhtiar saat dihubungi, Rabu (18/12). (*)
Liputan: M. Risfan Sihaloho