TAJDID.ID || Ada yang luput dari pengamatan media saat Aung San Suu Kyi habis-habisan menolak tuduhan Myanmar melakukan genosida, yaitu ia hanya sekali menyebut Rohingya. Dalam 30 menit pidato tertulis di Pengadilan Internasional (ICJ), Suu Kyi mengeluarkan 3.379 kata untuk menggambarkan etnis minoritas yang dibantai bertahun-tahun di negara bagian Rakhine.
Dalam catatan Al Jazeera, Suu Kyi hanya sekali menyebut kata Rohingya saat merujuk pada organisasi perlawanan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Ia tidak bisa menghindari penyebutan kata itu, karena berkaitan dengan pembelaan terhadap militer Myanmar.
Aktivis Muslim Rohingya dan kritikus mengatakan penolakan menggunakan kata Rohingya adalah bagian upaya Myanmar menghapus identitas minoritas, dan itu hak mereka.
Kaamil Ahmed, jurnalis yang melaporkan Rohingya dan sedang menulis buku, mengatakan; “Orang Myanmar secara rutin menyebut Muslim Rohingya dengan kata Benggala dan Kalars, dua kata yang merujuk pada warna kulit yang gelap.”
Penggunaan Benggala dan Kalars merupakan bentuk penyangkalan terhadap eksistensi Muslim Rohingya sebagai penduduk asli Rakhine. Suu Kyi tidak menggunakan Benggala dan Kalars, tapi menganggap Muslim Rohingya bukan bagian Myanmar.
“Suu Kyi menolak menyebut Rohingya, karena dikalim sebagai istilah polarisasi,” kata Ahmed.
Muslim Rohingya adalah masyarakat etnis dengan populasi satu juta dari 50 juta penduduk Buddha Myanmar. Seluruhnya tinggal di Rakhine, negara bagian termiskin di Myanmar, dan berbicara dialek Bengali.
Mereka tidak dianggap sebagai satu dari 135 kelompok etnis terdaftar di negara itu, dan dikeluarkan dari UU Kewarganegaraan tahun 1982. Akibatnya, Muslim Rohingya adalah masyarakat tanpa negara.
Untuk mendapat kewarga-negaraan, mereka perlu membuktikan bahwa mereka telah tinggal di Myanmar selama 60 tahun. Menariknya, dokumen tidak pernah tersedia untuk menunjukan hal itu. Akibatnya, hak-hak mereka untuk beribadah, belajar, bekerja, bepergian, menikah, dan mengakses layanan kesehatan, dibatasi.
Wai Wai Nu, aktivis Rohingya yang berbasis di Yangon mengatakan, penolakan Suu Kyi atas tuduhan genosida terasa lengkap dengan sikapnya tidak menyebut Rohingya.
“Dia tahu penyebab genosida adalah kata Rohingya, dan dia hindari penyebutan kata itu dalam penyangkalannya,” kata Wai Wai Nu kepada Al Jazeera.
Sikap itu juga memperlihatkan, lanjut Wai Wai Nu, Suu Kyi tidak punya keinginan memulihkan hak hak kami. Suu Kyi menolak eksistensi Rohingya, dan penolakannya terhadap penyebutan nama adalah upaya penghancuran secara fisik dan mental.
Mencermati kembali pidato Suu Kyi, pemenang Nobel Perdamaian lebih suka menyebut Rohingya sebagai Muslim, tapi bukan Muslim Rohingya. Lebih jelasnya, sebagai pengganti kata Rohingya, Suu Kyi menggunakan kalimat; Muslim, orang, warga sipil dan anggota komunitas Rakhine.
Ro Nya San Lwin, aktivis Rohingya dan pendiri Free Rohingya Coalition, mengatakan; “Dulu, Suu Kyi memanggil kami Rohingya. Jelang Pemilu 2015, dia mengharamkan lidahnya menyebut kata Rohingya.”
Setelah mendapat tempat di pemerintahan Myanmar, Suu Kyi mendesak pemerintahnya tidak menggunakan kata Rohingya atau Benggali, tapi Muslim dari Rakhine.
“Menolak memanggil kami Rohingya adalah bagian genosida. Suu Kyi melakukan genosida di depan pengadilan internasional,” katanya.
Menurut Ro Nya San Lwin, muslim adalah identitas agama. Sedangkan Rohingya adalah identitas etnis. “Kini, kami akan menyebutnya genocide genocide, atau penyangkal genosida,” kata San Lwin. (*)