TAJDID.ID-Medan || Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU) sepakat untuk menjalin kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia dalam peningkatan Tri Dharma perguruan Tinggi.
Kerjasama tersebut dikukuhkan dalam bentuk MoU yang ditandatangani langsung oleh Dekan FH UMSU Dr. Ida Hanifah, SH., MH dan Dekan FH Al-Azhar Indonesia Dr Yusuf Hidayat SAg MH di di Aula Fakultas Hukum Lt. IV Gedung. C Kampus Utama UMSU, Jl Kapten Mukhtar basri Medan, Jum’at (29/11/2019).
Dalam acara tersebut tampak hadir Wakil Dekan-III Zainuddin, SH., MH, Kabag di lingkungan FH UMSU dan puluhan mahasiswa FH UMSU.
Usai penandatangan MoU, acara dilanjutkan dengan Kuliah Umum yang dibawakan oleh Dr Yusuf Hidayat SAg MH dengan tema “Perkembangan Hukum Kepailitan dalam Perspektif Ekonomi Syaria’ah”
Dalam paparannya, Yusuf menjelaskan Dalam hukum positif Indonesia, yakni Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit. Berdasarkan Undang-Undang ini, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Pada dasarnya Islam mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupan sosial, termasuk utang piutang. Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang secara langsung menyinggung soal utang piutang. Penggalan Surat al-Baqarah ayat 283 menyebutkan Hendaknya orang yang sudah dipercaya untuk berutang membayar utang-utangnya.
Sedangkan dalam perspektif fikih Islam (syari’ah) kondisi dimana seseorang tidak memiliki harta disebut iflaas.
“Orang yang pailit disebut muflis, sedangkan keputusan hakim yang menyatakan seseorang dalam keadaan pailit disebut tafliis. Kata tafliis sering diartikan sebagai larangan kepada seseorang bertindak atas hartanya. Larangan itu dibuat karena yang bersangkutan terbelit utang yang lebih banyak dari hartanya,” jelas Yusuf.
Secara umum, kata Yusuf, pemahaman hakim niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan ekonomi Syari’ah yaitu pertama, tidak ada perbedaan mendasar dari proses awal pendaftaran perkara sampai putusan antara perkara kepailitan ekonomi syariah dan kepailitan pada umumnya karena menggunakan undang-undang yang sama.
“Kemudian tidak ada perbedaan secara prinsip antara syarat-syarat kepailitan Undang-Undang Kepailitan dan Fatwa DSN-MUI khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan murabahah,” jelasnya. (*)