Pangeran Kodok sumringah menerima kegabungan Pendekar Kelelawar. Hatinya sangat lega. Karena ia yakin tak akan ada lagi pihak-pihak yang bisa menggoyangnya, atau menggulingkan kekuasaannya di tengah jalan atau di tikungan atau di lorong-lorong kegelapan.
Pula Pendekar Kelelawar, sumringah. Semangatnya berpolitik di dalam kekuasaan akan segera terwujud. Karena sudah berulang-kali ia mengadu nasib di kontestasi, selalu gagal. Meski tak duduk di puncak singgasana, tak mengapa. Yang penting masuk ke lingkaran istana. Toh pada periode lalu-lalu banyak juga yang begitu.
Senyum bertebaran di bibir mereka. Bahasa tubuh mereka berpadu harmonis, antara kelegaan dengan semangat. Mereka berpelukan, cipika-cipiki, dan terus saling lempar senyum. Akhirnya berangkulan menuju meja hidangan makan siang. Pintu ruang makan-makan ditutup rapat-rapat. Dan semua wartawan mlongo.
Tak cukup dengan lega. Tak cukup dengan semangat. Tak cukup dengan semua keceriaan itu. Di tepi meja makan mereka berbisik-bisik lirih. Hingga tak ada siapapun yang mendengarnya. Sesekali kekeh-kekehan mereka menyelai bisik-bisik itu. Ada kesepakatan bulat. Untuk siapakah? Oh, ternyata untuk rakyat.
Kembali pintu ruang makan-makan dibuka. Tanpa seremony bertele-tele. Pangeran Kodok menyambar mikrofon. Ia pidato singkat padat penuh hikmat. Bahwa mereka memadukan masing-masing potensi untuk satu tujuan. Tujuan untuk mempersatukan kembali keterbelahan rakyat. Seolah-olah, mereka kuasa mempersatukan. Padahal yang pasti, merekalah yang membelah.
Tanpa seremoni basa-basi. Pendekar kelelawar mendekatkan mulutnya ke mikrofon. Ia berorasi langsung ke inti. Bahwa mereka berkoalisi dengan mengesampingkan ego masing-masing untuk satu tujuan. Dengan siap berkorban segala-galanya untuk satu tujuan. Tujuan untuk menyejahterakan kehidupan rakyat. Hebat bukan, heroisme dua tokoh kita ini?
Wartawan tetap mlongo. Tapi berita besar tersebut musti segera disiarkan, dan disebar-luaskan ke seluruh pelosok negeri. Agar rakyat bergembira ria. Tumbuh lagi harapan hidupnya. Bisa menjadi macan Asia, yang meroket setinggi langit tujuh. Harapan-harapan yang bisa mencandui. Jadi bisa lupa harga-harga menanjak naik. Jadi bisa lupa yang sejahtera siapa, yang menderita siapa. Jadi bisa lupa penggarongan sumber daya alam kita yang berlangsung abadi dari detik ke detik.
Kembali kepada Pangeran Kodok dan Pendekar Kelelawar. Dalam koalisi, mereka gembira. Para pengikut mereka juga gembira. Pengikut Pangeran Kodok gembira karena merasa berhasil menjinakkan dan menaklukkan pesaing berat selama kontestasi. Pengikut Pendekar Kelelawar gembira karena capeknya jadi oposisi telah terbayar dengan posisi gebyar-gebyar.
Sambil ada yang mimpi-mimpi, siapa tahu kebagian kursi menteri. Meleset sedikit, masih ada kursi komisaris. Meleset sedikit, masih ada kursi direksi. Meleset sedikit masih ada kursi yang bisa untuk mengisi pundi-pundi. Seberapapun itu, masih kebagian rejeki. Itulah yang dinanti-nanti anak dan isteri, atau anak dan suami yang setia menanti.
Juru bicara Pangeran Kodok dan juru bicara Pendekar Kelelawar berbicara santun dan berhati-hati sekali. Saat kontestasi berujar politis bak ratna mutu manikam. Namun saat koalisi berujar politis laksana tahi kotok tahi ayam. Hingga telinga manusia waras tak sudi merekam. Hingga dalam batin mereka menerka-nerka. Inikah negeri jahanam?
Akar rumput juga mlongo, persis seperti wartawan. Keringat, darah, dan air mata mereka saat kontestasi, kini terkubur di ruang hampa, di atas tanah yang tumbuhannya meranggas. Sebagiannya terbakar, hingga bikin sesak nafas. Rupawan demokrasi terhempas. Fatsun politik kandas. Role model kesatriaan amblas. Mungkinkah kontestasi ditiadakan? Mungkinkah kontestasi tak perlu kampanye?
Suasana gembira optimis ceria terus dicitrakan. Pangeran Kodok dan Pendekar Kelelawar ke mana-mana berdua. Citra bersahabat. Citra akrab. Citra saling percaya. Pangeran Kodok mengajak Pendekar nyebur kolam. Pendekar Kelelawar mulai curiga. Karena alat nafasnya bukan insang dan kulit. Jika ajakan itu dituruti, ia akan sekarat, karena paru-parunya akan meledak tertekan air. Maka ia menolaknya.
Kini gantian. Pendekar Kelelawar mengajak Pangeran Kodok terbang mengangkasa. Pangeran Kodok mulai curiga. Karena ia tak punya sayap, dan kulitnya cepat mengering. Jika ajakan itu dituruti, ia akan kelepek-kelepek, kemudian dijatuhkan dari ketinggian yang tak berhingga. Tubuhnya bisa mecedel, kemudian mati. Maka ia menolaknya.
Jika keseimbangan penguasa dengan oposisi sebuah thesa, jika koalisi gemuk otoriter adalah antithesa. Mungkinkah muncul sinthesa gerakan massa di akar rumput yang skeptis, pesimistis, apatis, dan apolitis? Mereka menganggap, bahwa Pangeran Kodok adalah si cebong-cebong belaka? Mereka menganggap, bahwa Pendekar Kelelawar adalah si kampret-kampret belaka? Rumput enggan bergoyang untuk selama-lamanya.
Kontestasi yang akan datang berganti cerita. Latar depan dengan wajah ingusan anak-anak papa dan wajah ingusan anak-anak mama. Latar belakang tetap dengan wajah lama. Wajah-wajah lama yang masih bergaris orde lama dan bergaris orde baru. Sementara wajah-wajah orde reformasi yang mustinya segar, malah terkencing-kencing dan pucat-pasi bergelantungan di tepian meja makan hidangan sarapan pagi, santap siang, dan makan malam. Politik “kolobendu” siap menerkam Indonesia.
Lantas dikemanakan para loyalis Pangeran Kodok dan para loyalis Pendekar Kelelawar, yang dulu sangat getol mempertajam kontradiksi-kontradiksi? Apakah mulut mereka telah disumpal cor semen? Apakah dalam diam mereka diam-diam juga ada kesamaan watak dengan si boss? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain. Tapi semua tanya tersapu oleh satu jawaban. Anak cucu cicit kita terpaksa menerima warisan (legacy) politik nir nilai. Absurd…!!!
Wa-ALLAHU a’lam bishshawwab.
Muballigh Akar Rumput. Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Asy-Syifa’ Bantul (2012 – 2017)