TAJDID.ID-Jakarta || Pemerintah memutuskan untuk memangkas subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 menjadi Rp137,5 triliun. Angka ini turun sekitar 3,58 persen dari alokasi subsidi energi di 2019 yang mencapai Rp142,6 triliun.
Dalam asumsi dasar sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) APBN 2020, subsidi yang dipatok pemerintah untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu, LPG 3kg dan listrik masing-masing sebesar Rp18,8 triliun, Rp52 triliun, serta Rp62,2 triliun.
Pemangkasan subsidi ini memunculkan kekhawatiran terhadap kenaikan harga di tahun depan. Terlebih, tahun politik sudah lewat dan volume konsumsi energi juga diproyeksikan lebih tinggi ketimbang APBN 2019.
Untuk solar dan minyak tanah, misalnya, pemerintah menetapkan subsidi sebesar 15,11 juta kilo liter (KL) di tahun ini. Sementara pada tahun depan jumlahnya naik menjadi 15,58 juta KL. Memang volume minyak tanah yang disubsidi turun dari 0,61 juta KL menjadi 0,56 juta KL. Namun, volume subsidi solar meningkat dari 14,5 juta KL di tahun ini, menjadi 15,58 juta KL di 2020–dengan subsidi sebesar Rp1.000 per liter atau lebih rendah dari 2019 yang dipatok sebesar Rp2000 per liter.
“Kalau biaya lebih tinggi yang ditunjukan dengan ICP (Indonesia Crude Price) dan kurs, maka ada kemungkinan harga minyak solar akan disesuaikan. Menurut saya kemungkinan ini sangat tinggi dilakukan di awal tahun depan,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Selasa (20/8/2019).
Seperti diketahui, penetapan alokasi subsidi untuk solar selalu didasarkan pada asumsi harga minyak Indonesia (ICP) serta nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, jika melihat asumsi makro pemerintah, seharusnya opsi yang diambil untuk subisidi solar bukan Rp1.000 per liter.
Sebab, pemerintah telah mematok asumsi ICP sebesar 65 dolar AS atau meningkat ketimbang tahun 2019 yang berada di angka 63 dolar AS. Sementara asumsi harga rupiah terhadap dolar ditetapkan pada kisaran Rp14.000/dolar AS.
Jika subsidi tersebut tak bisa menutupi selisih harga jual eceran dengan harga solar yang ditetapkan Kementerian ESDM, maka kemungkinan yang terjadi hanya ada dua: harga solar naik atau Pertamina tekor.
Oleh sebab itu, ketika besaran subsidi ini dibahas di Komisi VII DPR RI pada pertengahan Juli lalu, Direktur Keuangan Pertamina Pahala Mansury meminta agar penetapan subsidi Rp1.000 per liter itu ditinjau ulang. Sebab, menurut dia, subsidi solar sebesar Rp2.000 per liter masih tak mampu menutup selisih antara harga eceran–sebesar Rp5.150 per liter–dengan harga dasar yang ditetapkan melalui formulasi Kementerian ESDM.
“Kalau untuk penyesuaian (kenaikan) harga kan tentunya kami harus bicara dengan pemerintah,” kata Pahala kala itu. (*)
Sumber: tirto.id