Ada tiga skenario radikal untuk dapat secara meyakinkan bagi pemulihan ekonomi Sumatera Utara. Ketiga skenario itu ialah menampung kucuran dana dari pemerintah pusat (di dalam P-APBD mendatang), obligasi daerah dan penerapan mata uang komplementer (local currency).
Sebetulnya tiga skenario ini bukan sesuatu yang dirumuskan dengan asumsi hanya cocok untuk kondisi khas Sumatera Utara, melainkan sesuatu yang cocok untuk seluruh daerah. Karena itu urusannya ada pada politik anggaran secara nasional.
Keseluruhan skenario membutuhkan perumusan kembali strategi daerah menghadapi wabah covid-19. Untuk skenario pertama diperlukan perumusan program yang secara teoritis dan pengalaman empiris cukup terandalkan. Pada umumnya orang dapat menunjukkan jalan keluar. Tetapi ketika berhadapan dengan konsekuensi pendanaan, bingung sendiri.
Berdasarkan dukungan regulasi dan politik, pilihan scenario kucuran dana nasional lebih populer dan cukup prospektif. Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dalam webinar tanggal 2 Juni 2020 yang lalu berharap daerah yang dipimpinnya kedepan dapat mengejar pertumbuhan sebesar 3 persen meski dengan berbagai tantangan sulit.
Diketahui pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara tahun lalu berada di atas 5 persen dan memasuki triwulan pertama tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 4 persen lebih. Dalam hitungan ke depan, jika tidak melakukan langkah yang tepat, akan terjadi penurunan drastis. Dunia mencemaskan bayang-bayang penurunan drastis pertumbuhan hingga bahkan kemungkinan minus itu, Indonesia juga dan Sumatera Utara ada di dalamnya.
Dalam forum yang sama (webinar tanggal 2 Juni 2020) Kepala Perwakilan BI Sumatera Utara Wiwiek Sisto Widayat merespon dengan perhitungan berdasarkan data yang dimiliki lembaga yang dipimpinnya.
Menurutnya diperlukan stimulus sebesar Rp 5 Triliun, sedangkan alokasi dana yang sudah tersedia hanya sebesar Rp 1.5 Triliun. Dengan demikian, mengandalkan Rp 1,5 Triliun itu sebetulnya tak ada harapan pemulihan, karena faktanya untuk beroleh pertumbuhan yang jauh di bawah angka sebelum wabah covid-19 pun (3 persen) sangat sulit dan itu memerlukan dana Rp 5 triliun.
Pertanyaannya darimanakah dana kekurangannya diperoleh, yakni sebesar Rp 3,5 Triliun?
Widayat memang mengasumsikan ada kolaborasi pemerintah provinsi dengan 33 daerah Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara. Namun dalam skenario Bank Indonesia kondisi kabupaten dan kota itu sama sekali kurang diperhitungkan. Seluruh daerah Kabupaten dan Kota tak hanya di Indonesia, mengalami kesulitan yang sama. Untuk Sumatera Utara, Kota Medan yang memiliki keunggulan di atas daerah yang lain saja misalnya, begitu kesulitan. Apa lagi daerah-daerah yang lain. Inilah gambaran prospek yang kurang optimis jika ingin mengandalkan kolaborasi dengan daerah Kabupaten dan Kota sebagaimana diasumsikan oleh Kepala Bank Indonesia Sumatera Utara.
Skenario pertama ini mengasumsikan pemerintah memiliki otoritas untuk menggandakan seberapapun anggaran yang diperlukan sesuai mandat pemerintahan apalagi dengan regulasi khusus yang dibuat untuk menghadapi dan keluar dengan selamat dari bencana nasional covid-19. Seluruh pemerintah daerah silakan merumuskan kebutuhan anggarannya, dan ajukan ke pemerintah nasional.
Sedangkan skenario lain, obligasi daerah dan pemberlakuan lokal currency, sedikit lebih rumit dan berproses lebih panjang.
Karena itu, di tengah kesulitan ekonomi dunia akibat pandemi covid-19, kita memang ada pada same boat, tetapi with different waves (biduk yang sama dengan aneka gelombang yang mungkin saja belum pernah dikenali sebelumnya).
Karena itu diperlukan apa yang disebut oleh Presiden sebagai cara-cara dan approach non-linear. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Medan