TAJDID.ID-Medan || Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi mengatakan tampil sebagai penceramah dalam Pengajian Ramadan Online yang diadakan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bekerjasam dengan bekerjasama dengan Pusat Digital Syiar Muhammadiyah (PSDM) PP Muhammadiyah, pada hari Senin (4/5/2020).
Sebanyak 421 peserta mulai dari BPH UMSU, Rektor UMSU, Jajaran Wakil rector UMSU, PDM Se Sumut, Ketua Sekolah Tinggi Muhammadiyah se Sumut, civitas akademika UMSU ikut berpartisipasi memeriahkan Pengajian Ramadhan Online yang dipandu oleh Dekan FAI UMSU Dr Muhammad Qorib MA.
Mengawali ceramahnya Haedar Nashir mengatakan, bahwa sekarang kita berada dalam suasana Ramadhan di kala musibah. Dan kita juga ditinggal oleh saudara-saudara kita, termasuk dari keluarga besar, kader dan pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Utara.
“Tentunya ini merupakan musibah yang mana kita tidak ada jalan kecuali mengucap inna lilahi wa inna ilaihi raji’un.” sebutnya.
Atas musibah ini, kata Haedar, sebagai orang beriman tidak ada jalan kecuali kita tawakkal dan sabar kepada Allah sembari ikhtiar. Sehingga bagi setiap muslim, libih-lebih bagi keluarga besar Muhammadiyah, tidak akan pernah meratapi musibah sebesar ini, tetapi menghadapinya dengan sabar dan tawakkal dan ikhtiar, lalu juga dengan kepasrahan.
“Karena semuanya tidak kita kehendaki. Wamaa ashaabakum min mushiibatin fabimaa kasabat aydiikum waya’fuu ‘an katsiirin (QS as-Syura: 30- red). Artinya, tidak ada musibah apapun di muka bumi ini yang terjadi kecuali dengan izin Allah, atas kuasa Allah serta atas Rahman dan Rahimnya Allah,” tuturnya.
Karena itu, kata Haedar, warga Muhammadiyah harus tetap optimis, biarpun berpuasa Ramadan di kala musibah Covid-19 tetapi kita tetap optimis bahwa Allah mengeluarkan kita dari musibah ini, tentu harus disertai dengan ikhtiar.
Ditegaskannya, Muhammadiyah juga sudah berperan didalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya ini lewat kiprah Muhammadiyah untuk bangsa.
Apa yang dilakukan Muhammadiyah itu memang bukan retorika, tetapi nyata. Kemaren viral di media sosial bahwa Perguruan Tinggi Muhammadiyah sudah mengeluarkan Rp 78 miliar untuk menghadapi pandemi Covid-19, belum dari Rumah Sakit dan lainnya.
“Tanpa rasa kita ingin riya, tetapi tasyakur bi ni’mah bahwa apa yang kita lakukan itu merupakan peran dari Muhammadiyah untuk kemanusian, lebih-lebih di kala musibah,” ungkapnya.
Karena itu, Haedar mengingatkan ummat Islam, khususnya keluarag besar Muhammadiyah jangan pernah kehilangan makna. Haedar menyebut ada tiga makna yang harus tetap dimiliki di saat kondisi sekarang ini.
Makna pertama, kata Haedar, jadikan musibah ini sebagai hikmah untuk makin menjadi orang yang beriman, makin jadi orang yang cerdas berilmu, sekaligus juga menjadi orang orang yang memberi manfaat dengan amal shaleh.
“Dan ini merupakan bagian dari ketauhidan kita, keimanan dan ketaqwaan kit. Apalagi kita di bulan Ramadan , kita diperintahkan berpuasa Ramadhan, la’allakum tattaqun, agar kita menjadi orang yang bertakwa,” katanya.
Orang bertakwa itu, jelas Haedar, jika dikumpulkan dari seluruh kriteria-kriteria yang ada dalam al-Quran, maka kesimpulannya adalah orang yang mengumpulkan seluruh kebaikan di dalam dirinya.
“Jadi puncak dari segala kualitas itu ada pada diri yang bertakwa. Karena itu jadilah manusia-manusia yang unggul , tanggu dan mampu mengambil ibrah dari musibah itu,” katanya.
Makna kedua, kata Haedar, bahwa peran kemanusian itu tidak semata-mata karena hal yang pragmatis dan praktis, tetapi juga harus ada nilai teologis.
“Itu bedanya kita sebagai muslim, sebagai pengikut nabi Muhammad SAW menjalankan peran-peran kemanusian , kemasyarakan dan kebangsaan itu punya dasar nilainya,” ungkapnya.
Makna ketiga, mari kembangkan di dalam peran dan kiprah kemanusiaan itu adalah nilai ta’awun, nilai untuk saling menolong dan saling bekerjasama dalam kebaikan, sebaliknya tidak bekerja sama dalam keburukan, ta’awanu alal birri wattaqwa wala ta’awanu alal itsmi wal udwan.
Menurut Haedar, membantu mereka yang yang dhuafa dan mustadh’afin dalam kondisi sulit melawan wabah ini adalah bagian dari dakwah ma’ruf nahi mungkar yang sifatnya ta’awun. Dan ini juga heroik dan bentuk jihad fisabilillah.
“Jadi jangan hanya punya anggapan dakwah amar ma’ruf nahi munkar itu bukan cuma mengatakan kebenaran di tengah pemimpin yang zalim itu. Iya, itu memang betul. Tapi pada saat yang sama gerakan ta’awun yang membebaskan kaum dhuafa dan mustadh’afin dan mereka yang mengalami nasib yang buruk akibat musibah itu juga jihad fisabilillah. Termasuk juga mencari ilmu itu termasuk jihad fisabilillah,” jelasnya.
Haedar mengatakan, Muhammadiyah berbangga karena sudah diwariskan mozaik dari Kyai Dahlan ketika beliau mengajarkan surat al-Ma’un selama 3 bulan sebagai bentuk pengajaran yang luar biasa, yang oleh mahasiswa yang belajar ilmu sosial disebut dengan dekonstruksi, membongkar alam pikiran.
“Tujuh ayat dihafal itu mungkin bisa setengah jam. Tetapi Kyai Dahlan mengajarkannya selama 3 bulan. Ternyata ada yang ingin diraih, yakni keutamaan aksi nyata. Melaksanakan itu bagian dari pemahaman,” urainya
Di akhir ceramahnya, Haedar menegaskan, bahwa kiprah kemanusiaan Muhammadiyah itu adalah peran dari langit untuk bumi, bukan semata-mata peran yang sifatnya pragmatis dan praktis.
“Itulah yang perlu kita hayati bersama, mudah-mudahan di bulan Ramadan ini kita semakin menghayati nilai-nilai keislaman yang sangat mulia luhur dan utama serta disebarluaskan dalam kehidupan sehari-hari,” tutupnya. (*)
Liputan: MRS