TAJDID.ID~Medan || Penolakan pembayaran menggunakan uang tunai terhadap konsumen di sejumlah gerai makanan dinilai sebagai bentuk pengabaian hak konsumen dan tidak sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Praktik “cashless only” yang mewajibkan pembayaran non-tunai, khususnya melalui QRIS, menuai kritik dari lembaga perlindungan konsumen.
Padian Adi S. Siregar dari Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) menegaskan bahwa uang tunai dalam bentuk rupiah merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
“Pelaku usaha tidak dibenarkan menolak pembayaran tunai dalam transaksi jual beli. Rupiah adalah alat pembayaran yang sah, sehingga konsumen berhak menggunakannya,” kata Padian, Selasa (23/12).
Menurutnya, meskipun digitalisasi sistem pembayaran merupakan bagian dari perkembangan sistem keuangan nasional, kebijakan tersebut tidak boleh diterapkan secara eksklusif hingga meniadakan hak konsumen untuk membayar secara tunai.
Dosen Fakultas Hukum UMSU ini menjelaskan, QRIS yang ditetapkan Bank Indonesia merupakan alternatif pembayaran, bukan pengganti uang tunai. Prinsip ini, kata dia, sejalan dengan semangat inklusi keuangan agar seluruh lapisan masyarakat tetap dapat mengakses layanan pembayaran.
“Transformasi digital seharusnya memberi kemudahan, bukan justru menciptakan hambatan baru. Jika pembayaran non-tunai dijadikan satu-satunya pilihan, itu berpotensi merugikan konsumen,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebijakan “cashless only” berpotensi menimbulkan diskriminasi, terutama bagi kelompok lanjut usia, masyarakat yang belum memiliki akses perbankan, serta konsumen yang belum terbiasa dengan teknologi digital. Praktik tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagai langkah yang seharusnya ditempuh pelaku usaha, Padian menegaskan beberapa kewajiban yang tidak boleh diabaikan, antara lain tetap menerima pembayaran tunai sebagai alat pembayaran yang sah, menyediakan pembayaran non-tunai sebagai pilihan tambahan, memberikan informasi yang jelas mengenai metode pembayaran, serta tidak melakukan penolakan atau diskriminasi pelayanan berdasarkan metode pembayaran.
“Hak konsumen untuk menggunakan uang tunai harus tetap dihormati. Digitalisasi tidak boleh mengorbankan prinsip keadilan dan perlindungan konsumen,” pungkasnya. (*)
–





