TAJDID.ID~Medan || Pernyataan satire seorang legislator dari kawasan Timur Indonesia yang mengaku akan “merampok uang negara agar Indonesia lebih miskin” menuai kontroversi nasional. Meski sang legislator telah menyampaikan permintaan maaf dan mengklarifikasi bahwa ucapannya bersifat sindiran, partainya disebut sedang mempertimbangkan sanksi hingga pemecatan.
Pernyataan tersebut menjadi bahan perdebatan di ruang publik. Namun menurut pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anahor Siregar, satire itu tidak bisa serta-merta dianggap sebagai pelanggaran etik yang serius, apalagi sampai dijatuhi sanksi berat.
“Justru pernyataan itu harus dilihat sebagai ekspresi kritik terhadap realitas politik kita yang masih sarat dengan korupsi dan kesenjangan struktural,” ujar Shohibul saat dihubungi, Jumat (20/9).
Shohibul menjelaskan bahwa satire merupakan salah satu bentuk komunikasi politik yang memiliki fungsi reflektif dan korektif. Menurutnya, ketimbang menghukum legislator tersebut, seharusnya partai dan publik menggarisbawahi pesan di balik sindiran tersebut.
“Satire adalah cara untuk menyoroti absurditas situasi politik. Dalam kasus ini, sindiran itu menunjukkan bahwa praktik merugikan negara bukan hal baru. Malah, sering dianggap normal dalam kultur kekuasaan kita,” tegasnya.
Tidak Lepas dari Konteks Unjuk Rasa Akhir Agustus
Lebih jauh, Shohibul menilai reaksi keras terhadap satire itu menjadi ironis jika dikaitkan dengan gelombang unjuk rasa besar-besaran yang terjadi pada akhir Agustus lalu. Ribuan orang turun ke jalan di berbagai kota, menuntut perubahan sistemik, akuntabilitas, dan penegakan hukum terhadap korupsi. Namun hingga kini, perubahan yang diharapkan belum juga terlihat.
“Kita harus mengingat bahwa unjuk rasa itu bahkan memakan korban jiwa. Tapi suara-suara rakyat seperti itu justru tidak ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah dan partai politik. Sebaliknya, ekspresi satire malah langsung ditindak,” tambahnya.
Ia menilai ada ketimpangan serius dalam cara negara merespons kritik. Rakyat yang menyuarakan aspirasi melalui demonstrasi diabaikan, sementara satu kalimat satire dari seorang politisi justru dianggap ancaman.
Evaluasi Bukan Pembungkaman
Shohibul mendorong agar partai politik bersikap proporsional dalam merespons kasus ini. Ia menyebut, jika pernyataan sang legislator terbukti tidak menimbulkan kerugian langsung, maka sanksi berat seperti pemecatan akan terkesan sebagai pembungkaman terhadap keberanian menyuarakan kebenaran.
“Kritik dalam bentuk apa pun, termasuk satire, adalah bagian dari demokrasi. Kita justru sedang mengalami defisit keberanian politik. Yang dibutuhkan hari ini bukan pembungkaman, tapi refleksi menyeluruh tentang kenapa satire seperti itu bisa terasa relevan bagi banyak orang,” pungkasnya. (*)