Oleh: M. Risfan Sihaloho
Pemred TAJDID.ID
Belakangan ini ada fenomena anomali yang cukup dominan mencoraki kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yakni maraknya muncul perilaku kontroversial — bertolak belakang dengan akal sehat — yang dipertontonkan oleh elit penguasa. Berbarengan dengan itu, fakta-fakta kezaliman dan ketidakadilan juga sedemikian telanjang hadir di depan mata, terjadi berulang-ulang, hingga kadang terasa jadi rutinitas pahit bangsa ini.
Bangsa ini sering kali dibuat seolah-olah lupa cara berpikir waras. Seakan-akan wajar ketika rakyat kecil harus antre bantuan beras, sementara pejabatnya bisa pesta pora dengan gaya hidup super hedon. Seakan wajar ketika gaji DPR dinaikkan dengan alasan “tugas berat”, sementara guru honorer masih digaji di bawah upah minimum.
Baca juga: Ketika yang Lemah Melawan
Puncaknya, kita bisa lihat di kasus Bupati Pati. Bayangkan, seorang pemimpin daerah bisa dengan pongah menantang rakyatnya sendiri, seolah rakyat hanyalah beban, bukan pemilik sah kedaulatan. Itu bukan sekadar arogansi, itu penghinaan terhadap akal sehat publik. Dan di titik inilah, rakyat memang berhak — bahkan wajib — “membangkang”.
Sebelumnya, beberapa waktu yang lalu fenomena “pembangkangan” rakyat juga sempat muncul dalam corak yang lebih soft namun terasa begitu menohok, yakni viralnya tagar “IndonesiaGelap” dan “KaburAjaDulu”. Walaupun cuma dalam bentuk hastag di media sosial, ternyata pola protes publik itu cukup membuat pemerintah merasa tersudutkan dan gerah.
Baca juga: Otoritarianisme: Ketika Kekuasaan Berhenti Mendengar, Rakyat Berhenti Bersuara
Belum lama ini, jelang HUT RI ke 80 juga muncul gerakan “pembangkangan” dalam bentuk lain, dengan pola yang lebih simbolik dan satir. Tiba-tiba satu pemandangan tak biasa ikut menyita perhatian publik: berkibarnya bendera “One Piece”, lengkap dengan lambang tengkorak khas bajak laut, di samping bendera kebangsaan Indonesia.Fenomena ini viral di media sosial. Foto dan video bendera One Piece—yang dikenal dengan lambang Jolly Roger milik kru Topi Jerami pimpinan Monkey D. Luffy—berkibar berdampingan dengan bendera merah-putih, memicu beragam reaksi, dari gelak tawa, kekaguman, hingga kritik dan kekhawatiran soal nasionalisme generasi muda.
Mengapa Rakyat Harus Melawan?
Sejarah membuktikan: setiap kekuasaan yang dibiarkan sewenang-wenang, pada akhirnya akan merampas lebih banyak hak rakyat. Diam adalah pupuk bagi tirani. Membiarkan berarti menyalakan karpet merah untuk kesewenang-wenangan berikutnya.
Secara akal-sehat dan nalar waras, sesungguhnya tidak ada lagi alasan buat rakyat untuk terus diam, memaklumi, dan menutup mata.
Maka, melawan bukan sekadar pilihan emosional, tapi logika akal sehat. Ketika hukum seringkali tunduk pada mereka yang berkuasa, rakyat tidak boleh lagi menunggu “keadilan turun dari langit”. Rakyat harus menjemput keadilan itu sendiri.
Perlawanan yang Cerdas dan Beradab
Namun, perlu diingat,sesungguhnya melawan tidak harus selalu berarti baku hantam, apalagi anarki. Ada banyak bentuk perlawanan cerdas dan beradab yang bisa dilakukan rakyat:
Misalnya, perlawanan dengan mengintensifkan “Gerakan Informasi Publik”. Pola ini efektif membongkar kebusukan kekuasaan lewat media sosial, media alternatif, dan kanal rakyat. Melawan propaganda dengan fakta, melawan citra dengan data.
Kemudian perlawanan “Gerakan Boikot Politik dan Ekonomi”. Caranya, jangan pilih partai, tokoh, atau kelompok yang jelas-jelas melukai rakyat. Jangan beli, jangan dukung, jangan lirik produk dan kebijakan yang lahir dari keserakahan elit.
Baca juga: Suara (Hati) Rakyat
Selanjutnya, perlawanan juga bisa ditegaskan melalui “Konsolidasi Rakyat”. Caranya, bentuk komunitas solidaritas rakyat, dari tingkat desa sampai kota. Jangan biarkan perlawanan berlangsung sendirian, sebab suara rakyat yang bersatu jauh lebih keras daripada teriakan pejabat di podium.
Terakhir, perlawanan melalui “Tekanan Konstitusional”. Jika perlu lakukan aksi demonstrasi damai, petisi, hingga gugatan hukum. Perlawanan yang cerdas adalah yang menekan negara dengan instrumen yang sah, sehingga rakyat tak bisa lagi diremehkan dengan tuduhan “preman politik”.
Karena Berotak, Makanya Berontak
Satu hal yang perlu senantiasa ditegaskan dan ingatkan kepada pemangku kekuasaan, bahwa sesungguhnya resistensi rakyat itu tidak lahir dari kebencian buta, melainkan dari cinta yang kritis. Ya, cinta tulus terhadap bangsa ini agar tidak terus-menerus ditipu oleh penguasa yang hanya pandai berkata “demi rakyat”, padahal di benaknya cuma “demi kekuasaan”.
Karena itu, jika kita masih punya otak, mari gunakan. Jika masih punya hati, mari resapi. Jika masih punya nalar waras, mari kobarkan perlawanan. Sebab diam di tengah ketidakadilan bukanlah kebajikan, melainkan pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.
Dan ingat, mengaku berotak tanpa berontak di tengah kepungan anomali dan ketidakwarasan ini hanyalah bentuk kepengecutan yang dibungkus kepatuhan. (*)