TAJDID.ID~Medan || Indonesia memulai langkah besar dalam diplomasi kawasan dengan mengusulkan pembentukan platform tingkat menteri ASEAN untuk memajukan hak asasi manusia (HAM). Menteri HAM Indonesia, Natalius Pigai, menyampaikan gagasan ini dalam pertemuan dengan Menteri Kehakiman Thailand, Tawee Sodsong, di Bangkok, Senin (22/7).
Pigai menegaskan bahwa sebagai negara ASEAN pertama yang memiliki kementerian khusus HAM, Indonesia siap memimpin langkah bersama negara-negara anggota lainnya dalam menyusun visi, persepsi, dan aksi kolektif regional untuk pengembangan HAM. Ia bahkan merencanakan tur ke negara ASEAN lain serta pertemuan menteri-menteri HAM se-ASEAN tahun depan di Jakarta.
Namun, langkah ini mendapat respons kritis dari Shohibul Anshor Siregar, akademisi dan pengamat politik FISIP UMSU, yang menilai bahwa langkah diplomasi ini rawan menjadi kosmetik politik jika Indonesia sendiri belum menyelesaikan berbagai persoalan HAM akut di dalam negeri.
“Inisiatif ini tampaknya menarik secara diplomatik, tapi ada keganjilan mendasar: Indonesia sedang bicara HAM di forum regional, sementara luka HAM di dalam negeri masih menganga dan tidak pernah disembuhkan,” ujar Siregar Selasa (23/7).
Siregar menyoroti sejumlah kasus pelanggaran HAM serius yang hingga kini belum diselesaikan secara adil dan terbuka. Ia menyebut aksi Kamisan yang telah berlangsung bertahun-tahun tanpa tanggapan konkret dari negara, serta pembunuhan misterius terhadap Laskar Mujahidin di KM 50, yang hingga kini masih menyisakan banyak tanda tanya.
“Para keluarga korban menanti keadilan, tetapi yang mereka dapat hanya pembungkaman dan pengaburan. Ironis jika Indonesia bicara soal memimpin ASEAN dalam isu HAM, tapi tidak berani mengakui kesalahan sendiri,” tegasnya.
Selain itu, Siregar juga mengkritik perlakuan diskriminatif terhadap tokoh-tokoh umat seperti Abu Bakar Ba’asyir, yang disebutnya menjadi korban narasi perang melawan terorisme yang penuh bias dan tanpa ruang pembelaan yang adil.
“Penetapan tokoh seperti Ba’asyir sebagai teroris, tanpa membuka ruang bagi pertimbangan sejarah, niat, dan mekanisme pembuktian yang netral, menunjukkan betapa kekuasaan bisa memperalat hukum untuk membungkam,” ujarnya.
Kasus terbaru yang juga menjadi perhatian Siregar adalah ketidakadilan hukum dalam sistem peradilan Indonesia yang tampak dalam perlakuan terhadap Tom Lembong, seorang mantan pejabat yang diproses secara kilat dan politis karena pandangannya berbeda dengan kekuasaan.
“Ini bukan sekadar soal Tom Lembong. Ini soal sistem hukum yang dipilih-pilih, digunakan secara selektif, dan menambah daftar panjang kegagalan negara menegakkan HAM,” tambah Siregar.
Lebih jauh, ia menyoroti represi negara atas masyarakat adat dan lingkungan hidup lewat proyek-proyek ekstraktif seperti food estate, proyek strategis nasional (PSN), dan reklamasi besar seperti PIK 2, yang merampas ruang hidup dan tak memberi ruang konsultasi sejati dengan warga terdampak.
“Bagaimana mungkin bicara soal hak asasi manusia, sementara negara masih mengusir rakyat dari tanahnya demi proyek-proyek kapitalistik yang disebut ‘strategis’? Apakah HAM hanya berlaku untuk pengusaha besar dan investor?” kritik Siregar tajam.
Ia menegaskan bahwa inisiatif Pigai harus disertai dengan komitmen mendalam untuk membenahi rumah sendiri terlebih dahulu. Tanpa itu, diplomasi HAM ini akan dinilai publik hanya sebagai upaya menutupi wajah buruk di dalam negeri dengan simbolisme global.
“Indonesia bisa memimpin, tapi harus dengan keteladanan. Jika tidak, inisiatif ini hanya akan dilihat sebagai ironi: berbicara soal HAM sambil menutup mata atas penderitaan rakyatnya sendiri,” pungkas Siregar. (*)