Oleh: M. Risfan Sihaloho
Di setiap rezim, dalam setiap sistem kekuasaan, hampir selalu hadir, satu spesies sosial yang tak pernah absen, yaitu para “penjilat” (sycophants).
Mereka adalah orang-orang yang menjadikan loyalitas sebagai alat, bukan karena keyakinan, tapi demi kepentingan. Mereka sangat terampil, tahu kapan harus memuji, kapan harus membenarkan, dan kapan harus diam.
Penjilat bukan hanya bawahan yang takut kehilangan jabatan. Mereka bisa jadi pejabat tinggi, intelektual, bahkan figur publik yang sebelumnya kritis tapi mendadak jinak saat kekuasaan mengulurkan tangannya. Motif mereka sederhana: akses, keamanan, dan keuntungan pribadi.
Tabiat Penjilat
Ada beberapa tabiat yang khas dimiliki oleh para penjilat:
Pertama, selalu membenarkan, tak pernah mengingatkan.
Penjilat hidup dari anggapan dan klaim bahwa pemimpin tidak boleh salah atau disalahkan.
Kalaupun sekiranya pemimpin salah, mereka merasa berkewajiban untuk menutupinya. Bahkan jika junjungan “berak sembarangan”, mereka siap untuk jadi “tukang cebok” dan menjilat semua kotoran junjungan sampai benar-benar bersih.
Dan bila ada yang mengkritik penguasa, maka tugas mereka adalah jadi pembela, bahkan jika perlu menyerang pihak yang mengkritik itu.
Kedua, pandai menciptakan narasi.
Bagi mereka, setiap keputusan penguasa adalah “langkah strategis” yang wajib diapresiasi, tak peduli seburuk apapun dampaknya bagi rakyat. Mereka akan menyulap kebijakan gagal menjadi “kesuksesan yang tertunda”.
Mereka tahu kata-kata bisa menyihir. Maka, mereka tak segan menyusun narasi yang membingkai sosok pemimpin sebagai tokoh heroik, walau kenyataannya jauh dari itu. Mereka begitu pro-aktif membentuk opini publik melalui propaganda, bukan fakta.
Ketiga, anti kritik.
Lazimnya para penjilat merasa risih dan terancam oleh suara-suara yang kritis dan independen. Maka mereka akan mendorong agar pemimpin menjauhkan para pengkritik. Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran penting dalam kriminalisasi oposisi atau pembungkaman media.
Keempat, bermuka dua.
Di hadapan penguasa, para penjilat bersikap bak pelayan setia yang gemar memuji. Namun di belakang, mereka sibuk mencari jalan keluar bila angin politik berubah arah. Kesetiaan mereka hanya berlaku selama kekuasaan masih kuat dan berjaya. Jika kekuasaan sudah mulai lemah dan nyaris ambruk, merekapun dengan gesit cari posisi aman dan siap “balik-gagang”.
Sangat Berbahaya
Mengapa penjilat berbahaya? Karena sesungguhnya keberadaan penjilat pitensial memperlemah kekuasaan dari dalam. Mereka menciptakan ilusi bahwa semuanya berjalan baik, padahal sedang menuju jurang.
Dalam sejarah, banyak penguasa tumbang bukan karena musuh eksternal, tetapi karena terlalu percaya pada orang-orang yang hanya berkata apa yang ingin mereka dengar.
Seperti dikatakan oleh sejarawan Lord Acton, “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Tapi dalam praktiknya, korupsi kekuasaan seringkali dipercepat oleh keberadaan para penjilat yang menjauhkan penguasa dari realitas.
Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu menyebut bahwa penjilat memainkan peran dalam menjaga “ilusi legitimasi” kekuasaan. Mereka membuat kekuasaan tampak rasional, walau sebenarnya rapuh dan keropos.
Sementara itu, ilmuwan politik Indonesia, Jeffrey Winters, menyebut bahwa dalam negara oligarkis, para penjilat menjadi “penghubung antara elite dan sistem,” mengamankan status quo sambil menindas suara kritis.
Penutup
Penjilat mungkin tak pernah mencuri uang negara secara langsung, tapi mereka mencuri yang lebih berharga: yakni kebenaran.
Mereka menutup jendela-jendela kritik, menyekat ruang publik, dan mematikan kepekaan moral pemimpin.
Maka dari itu, mewaspadai keberadaan mereka bukan hanya tugas pemimpin, tapi juga kewaspadaan rakyat.
Ingat! bangsa yang sehat bukan hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa, tetapi juga oleh siapa yang berani berkata jujur di hadapan kekuasaan. (*)