Oleh: M. Risfan Sihaloho
Yang lemah memang tidak selalu menang. Tapi mereka tidak pernah benar-benar diam. Dan itu yang tak disukai oleh mereka yang berkuasa—perlawanan sunyi, sulit diidentifikasi, dan tak bisa dibungkam dengan konferensi pers atau represi aparat.
Dalam buku “Weapons of the Weak”, James C. Scott menulis bahwa perlawanan tidak selalu berbentuk revolusi besar atau demonstrasi berdarah. Ia bisa sesederhana gosip, penolakan halus, atau sekadar bertahan hidup di tengah represi.
Di negeri ini, bentuk perlawanan seperti ini terjadi setiap hari. Contohnya, di desa-desa yang tanahnya hendak dirampas paksa dan di pinggiran kota yang digusur atas nama pembangunan, sesungguhnya mereka masih tetap menunjukkan resistensi dengan beragam bentuk “pembangkangan” yang mungkin tidak vulgar dan kontrontatif.
Para petani di Wadas, misalnya, tak punya kekuatan politik atau akses media yang besar. Tapi mereka menolak tambang batu andesit dengan tubuh mereka sendiri. Mereka mungkin kalah di dokumen negara, tapi menang di ruang moral publik. Itu bentuk resistance yang tak spektakuler, tapi punya daya tahan jangka panjang.
Sayangnya, narasi besar di republik ini lebih senang membingkai kekuatan dalam wujud seragam, jabatan, atau suara mayoritas. Kita diajari sejak kecil bahwa keberhasilan selalu datang dari atas. Tapi sejarah menunjukkan, yang mengubah dunia justru sering kali datang dari bawah: orang biasa, rakyat kecil, mereka yang katanya “tuna kuasa”.
Yang lemah memang tidak selalu menang. Tapi mereka tidak pernah benar-benar diam. Dan itu yang tak disukai oleh mereka yang berkuasa—perlawanan sunyi, sulit diidentifikasi, dan tak bisa dibungkam dengan konferensi pers atau represi aparat.
Kita hidup di zaman ketika siapa yang paling keras bersuara dianggap paling benar. Maka perlawanan yang diam justru menjadi radikal. Bertahan hidup di tengah sistem yang menindas adalah bentuk keberanian. Menghidupi nilai di tengah banjir propaganda adalah bentuk perlawanan. Mendidik anak untuk berpikir kritis adalah tindakan politik.
“Resistance of the weak” bukan sekadar teori sosial. Ia adalah realitas harian: tentang perempuan yang tetap menulis di tengah patriarki, tentang masyarakat adat yang menjaga hutan tanpa subsidi, tentang buruh yang tetap bekerja meski upah dihimpit biaya hidup. Memang cerita mereka bukan headline di media massa. Tapi mereka fondasi.
Banyak dari gerakan akar rumput ini tidak diliput media arus utama. Mereka tak viral, tak punya panggung, dan sering kali justru diremehkan. Tapi justru karena itulah mereka bertahan. Diam-diam, mereka mengorganisir, membangun solidaritas, dan menciptakan bentuk-bentuk perlawanan yang lentur tapi kuat.
Ini bukan tentang romantisasi “yang lemah.” Ini tentang kenyataan bahwa dalam dunia yang penuh ketimpangan, keberanian terbesar justru sering muncul dari mereka yang paling sedikit punya pilihan.
Kita perlu belajar mendengar suara-suara kecil itu. Bukan sekadar untuk memberi empati, tapi untuk memahami bahwa keadilan sosial tak akan datang dari kekuasaan semata. Ia harus diperjuangkan—oleh siapa pun, di mana pun.
Jika kita ingin keadilan, dengarkan suara-suara kecil itu. Bukan karena mereka lemah, tapi karena justru dari merekalah sejatinya kekuatan moral muncul.
Karena dalam ketidakberdayaan pun, manusia tetap punya satu senjata paling tajam: keberanian untuk mengatakan “tidak”. Long live the struggle!. Panjang umur perjuangan! (*)