Oleh: Ismail Fahmi
Indonesia sedang menghadapi krisis sunyi dalam dunia media.
Kita masih menonton berita. Kita masih membaca portal online. Tapi di balik layar, mesin pendanaan yang selama ini menopang jurnalisme mulai macet. Arief Suditomo, President Director Metro TV, dalam panel GMF 2025 menyampaikan realitas yang menyakitkan: “Kami sudah mencoba model berlangganan. Gagal. Sekarang kami harus mencari pendapatan dari luar ruang redaksi.”
Dan ini bukan Metro TV saja. Hampir semua media di Indonesia menghadapi dilema yang sama: konten makin banyak, tapi nilai ekonominya makin tipis. Iklan yang dulunya jadi sumber utama kini dikuasai oleh platform global lewat sistem programmatic advertising yang serba otomatis, tak transparan, dan mematikan media lokal.
Baca juga:
Data dari GroupM memperkirakan bahwa 75% belanja iklan digital di Indonesia tahun 2025 akan dikuasai oleh platform global. Hanya sebagian kecil yang jatuh ke tangan publisher lokal, termasuk TV nasional yang dulunya sangat dominan. Artinya: jurnalisme lokal sedang disingkirkan secara sistemik oleh algoritma global.
Apa responsnya? Media seperti Metro TV harus berpikir ulang soal eksistensinya. Mereka membuat seminar, acara hybrid, agregator konten, mengelola bakat (influencer internal), bahkan memberi penghargaan dua kali setahun—bukan hanya untuk membangun citra, tetapi sebagai model bisnis alternatif. Karena pendapatan dari berita tak lagi cukup untuk membayar ratusan karyawan dan biaya produksi.
Dan yang lebih menyedihkan? Platform global yang menikmati semua trafik dan data ini tak membayar pajak sepeser pun ke negara.
Arief menyampaikan ide yang radikal tapi masuk akal: mengajak misi eksternal masuk ke dalam proses editorial—secara selektif dan transparan—untuk menciptakan nilai bersama. Tapi ini adalah wilayah yang rapuh dan kontroversial. Di satu sisi bisa membantu keberlanjutan, tapi di sisi lain mengancam integritas redaksi jika tak dijaga dengan ketat.
Pertanyaannya sekarang: Apakah kita masih bisa menyebut media sebagai pilar demokrasi, jika pilar ekonomi yang menopangnya telah runtuh?
Dan lebih jauh lagi: Apakah pemerintah akan terus diam, sementara industri ini dikuasai oleh platform global yang tak membayar pajak, tak menciptakan lapangan kerja, dan tak punya tanggung jawab jangka panjang terhadap masyarakat?
Media kita sedang berjuang. Tapi tidak melawan pembaca—mereka melawan sistem. Dan jika negara tidak turun tangan, kita semua akan kehilangan bukan hanya media, tapi juga kemampuan kita sebagai bangsa untuk bercerita pada diri sendiri. (IF/AI)
Sumber: X Ismail Fahmi