Site icon TAJDID.ID

Dosen FISIP UMSU Kritik Putusan MK Soal Pemilu Nasional-Lokal: Menghindar dari Substansi, Abaikan Integritas Demokrasi

Shohibul Anshor Siregar.

TAJDID.ID~Medan || Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar, mengkritik keras Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal. Menurutnya, putusan tersebut bukan solusi substansial terhadap krisis integritas pemilu di Indonesia, melainkan hanya pergeseran teknis yang berdalih artifisial.

“Putusan ini seperti menghindari problem pokok demokrasi kita: lemahnya penegakan hukum, minimnya akuntabilitas, dan gagalnya institusi negara dalam menjaga keadilan elektoral. Ia tidak menyentuh jantung persoalan,” kata Siregar, Senin (8/7/2025).

Ia menilai, pemisahan pemilu nasional dan lokal hanya mempermainkan formalisme pemilu tanpa membenahi akar kerusakan yang sebenarnya. Padahal, lanjutnya, demokrasi tidak dibangun melalui tata letak waktu, melainkan melalui keberanian menyentuh dimensi normatif dan etis dari proses elektoral.

Siregar juga mengingatkan bahwa salah satu aspek yang paling absen dalam putusan MK adalah dorongan untuk mengembangkan sistem e-voting sebagai bagian dari modernisasi pemilu yang bermakna. Ia menegaskan bahwa e-voting tidak identik dengan aplikasi teknis seperti Situng dan Sirekap.

“Yang disebut e-voting bukan Situng, bukan Sirekap. Itu hanya alat bantu administratif yang nihil nilai, nir-norma, dan tidak ada pertanggungjawaban moral. E-voting yang sejati harus dirancang sebagai sistem yang menjunjung prinsip kejujuran, partisipasi luas, dan akuntabilitas publik,” jelasnya.

Demokrasi yang sehat memerlukan orientasi nilai, bukan sekadar pengaturan teknis

Lebih jauh, Siregar menyayangkan sikap MK yang dalam putusan ini terkesan tidak lagi mencerminkan watak institusi kenegaraan yang berpandangan jauh ke depan. Menurutnya, MK telah kehilangan peran sebagai garda terdepan dalam menjaga konstitusionalitas total atas orientasi dan praktik politik nasional.

“MK seharusnya tampil sebagai penjaga arah moral dan konstitusional politik bangsa. Bukan sekadar mengomentari teknis pemilu atau memutus tata waktu. Putusan ini tidak menawarkan visi, apalagi inspirasi, bagi reformasi sistem demokrasi kita yang sedang sakit,” kritiknya.

Baca  juga: 

Ia menilai bahwa jika pembentuk undang-undang menjadikan putusan MK ini sebagai rujukan untuk revisi sistem pemilu, maka yang terjadi bukan pembaruan, melainkan pengukuhan atas demokrasi prosedural yang hampa.

“Alih-alih mendorong reformasi pemilu yang menyentuh substansi seperti independensi penyelenggara, keadilan elektoral, dan kepercayaan publik, kita justru diarahkan pada manuver kosmetik yang menghindari hal-hal yang paling prinsip,” katanya.

Sebagai penutup, Siregar menyerukan perlunya keberanian politik dan intelektual untuk membenahi sistem pemilu secara menyeluruh dan jujur. Tanpa itu, demokrasi Indonesia hanya akan terus menjadi upacara kosong yang dikawal oleh prosedur tanpa jiwa.

“Demokrasi yang sehat memerlukan orientasi nilai, bukan sekadar pengaturan teknis. Jika MK pun gagal memimpin ke arah itu, kita patut khawatir: bangsa ini sedang berjalan tanpa kompas konstitusional,” pungkasnya. (*)

Exit mobile version