Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Seorang jurnalis meminta tanggapan dini hari ini. Ia mengajukan sebuah masalah besar, demikian: “Sejumlah kader partai politik atau yang belum mengundurkan diri selama 5 tahun belakangan ini lolos tahapan seleksi KPU dan Bawaslu di sejumlah daerah di Sumut. Bahkan ada calon yang merupakan Caleg pada Pemilu 2019 lalu lolos tahapan seleksi. Kemudian, ada juga calon anggota Bawaslu yang tidak mengikuti tahap demi tahap proses seleksi diloloskan oleh Timsel”.
Kecurangan dan perampokan adalah dua contoh perilaku yang amat dikutuk dalam norma sosial dan politik yang sesungguhnya amat dijunjung tinggi di Indonesdia, baik karena andil ajaran agama maupun ajaran nilai sosial budaya. Itu sudah berlangsung amat lama lama di negeri ini. Hal itu tak hanya diatur oleh hukum tidak tertulis, namun juga diberi sanksi oleh hukum positif.
Namun mengapa sejumlah kader partai politik atau yang belum mengundurkan diri selama 5 tahun belakangan ini lolos tahapan seleksi KPU dan Bawaslu di sejumlah daerah di Sumut? Mengapa bahkan ada calon yang merupakan Caleg pada Pemilu 2019 lalu lolos tahapan seleksi? Kemudian, mengapa ada juga calon anggota Bawaslu yang tidak mengikuti tahap demi tahap proses seleksi diloloskan oleh Timsel?
Fenomena itu adalah bukti kuat kegagalan konsolidasi demokrasi yang secara struktural akan menyandera proses politik sebuah negara demokrasi baru (Indonesia) menjadi matang. Itu tak ubahnya gerakan mengembalikan arah jarum jam sejarah ke belakang. Tak mungkin terjadi jika otoritarianisme tak dihadirkan untuk menegakkan benang basah penyangkalan demokrasi.
Demokrasi menjadi terkonsolidasi ketika para aktor politik menerima legitimasi demokrasi dan tidak ada aktor yang berusaha, apalagi leluasa seperti sekarang ini, bertindak di luar prosedur dan lembaga-lembaga demokratis, baik untuk alasan normatif maupun untuk kepentingan pribadi.
Konsolidasi demokrasi itu sebetulnya menggeser budaya politik lain untuk mengakui demokrasi menjadi sebuah rutinitas belaka dan dianggap biasa. Hal ini terjadi seiring berjalannya waktu melalui pelembagaan prosedur-prosedur demokratis dan kemampuan sistem untuk bekerja secara efektif.
Beberapa tantangan terhadap demokratisasi di negara-negara gelombang ketiga seperti Indonesia meliputi heterogenitas praktik demokrasi, jangkauan negara dan supremasi hukum yang tidak merata, pengambilalihan negara oleh kepentingan ekonomi dan swasta, dan kekerasan politik yang terbuka maupun tersamar.
Bentuk demokrasi yang tidak merata itu kerap meniscayakan secara tak adil atas keberadaan paradoks pusat ekonomi dan pinggiran, dan yang di dalamnya juga tidak semua warga negara menikmati hak-hak yang sama dalam praktiknya, serta yang di dalamnya sebagian fungsi negara dapat direbut oleh kepentingan swasta.
Demokrasi yang tidak terkonsolidasi berbagai cara untuk pembatasan terhadap masyarakat sipil terjadi. Karena itu pemilihan umum yang diformalkan lazim bernuansa kental klientelisme.
Klientelisme, juga dikenal sebagai politik klien, adalah pertukaran barang dan jasa untuk mendapatkan dukungan politik, yang sering kali melibatkan quid-pro-quo implisit atau eksplisit. Hal ini berkaitan erat dengan politik patronase dan pembelian suara.
Klientelisme melibatkan hubungan asimetris antara kelompok-kelompok aktor politik yang digambarkan sebagai patron, broker, dan klien. Dalam politik klientelisme, kelompok minoritas atau kelompok kepentingan yang terorganisir mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan publik.
Melihat fenomena ini dapatlah diramalkan bahwa pemilu 2024 sedang dirancang oleh para penjahat demokrasi untuk lebih buruk dari pemilu 2019 meski secara prosedural akan ditonjolkan sebagai bukti demokrasi dengan tanpa rasa malu. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut