TAJDID.ID~Medan || Shohibul Anshor Siregar menanggapi serius laporan KontraS Sumut mengenai 17 kasus penyiksaan dalam kurun waktu Juli 2024 hingga Juni 2025, yang diduga melibatkan oknum TNI dan Polri. Dalam laporan tersebut, disebutkan 36 orang luka-luka dan lima meninggal dunia akibat penyiksaan.
Menurut Siregar, keterlibatan aparat TNI dalam fungsi penegakan hukum sipil sangatlah bermasalah secara konstitusional dan berpotensi mengganggu prinsip negara hukum.
“Kita perlu sangat waspada. Keterlibatan TNI dalam urusan sipil, termasuk penanganan demonstrasi atau kriminalitas biasa, adalah bentuk penyimpangan dari peran dan fungsi militer sebagaimana diatur dalam UU TNI dan prinsip demokrasi. Ini adalah regresi, kemunduran sipil-militer,” ujar Siregar.
Ancaman Nyata terhadap Demokrasi
Siregar menekankan bahwa peran ganda TNI-Polri dalam urusan sipil, apalagi dengan tindakan kekerasan seperti penyiksaan dan penembakan, adalah ancaman langsung terhadap demokrasi dan supremasi sipil. Ia mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia pascareformasi justru dibangun dari semangat untuk mengakhiri kekuasaan militeristik Orde Baru.
“Kalau TNI dan Polri merasa kebal, bebas melakukan kekerasan, dan tak bisa dikritik, maka kita sedang menyaksikan degradasi demokrasi. Ini bukan sekadar isu HAM, ini soal arah masa depan republik,” tegasnya.
Ia menambahkan, impunitas terhadap aparat kekerasan tidak hanya merusak citra institusi, tetapi mengancam kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.
“Ketika warga tak bisa lagi merasa aman dari aparatnya sendiri, maka demokrasi telah kehilangan ruhnya. Demokrasi tanpa perlindungan terhadap hak sipil adalah demokrasi palsu,” kata Siregar.
Sorotan terhadap Penembakan oleh Eks Kapolres Belawan
Terkait penembakan yang menewaskan remaja Muhammad Suhada oleh AKBP Oloan Siahaan, Siregar menyebutnya sebagai contoh ekstrem penyalahgunaan kekuasaan dan hilangnya proporsionalitas dalam tindakan kepolisian.
“Itu bukan tindakan tegas, itu adalah pelanggaran hak hidup. Dalam demokrasi yang sehat, aparat seperti itu harus dicopot dan diadili, bukan dibela,” ujarnya.
Siregar mendukung KontraS Sumut yang mendesak evaluasi total atas penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian serta pengetatan pengawasan terhadap seluruh operasi yang berpotensi menimbulkan kekerasan negara terhadap warga sipil.
Seruan untuk Supremasi Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan
Siregar mengingatkan bahwa penguatan supremasi sipil atas militer dan kepolisian adalah syarat mutlak demokrasi. Jika negara gagal menegakkan batas-batas tegas antara peran militer dan sipil, maka Indonesia berisiko terperosok kembali ke masa kegelapan otoritarianisme.
“Reformasi sektor keamanan tidak boleh macet. Kita butuh payung hukum yang lebih kuat untuk memastikan bahwa tidak ada lagi ruang bagi militer untuk ikut campur dalam urusan sipil, dan tidak ada lagi ruang bagi polisi untuk menjadi pelaku kekerasan tak berdasar hukum,” kata Siregar.
Ajak Publik Aktif Kawal Kasus
Siregar menutup pernyataannya dengan mengajak masyarakat sipil, media, akademisi, dan organisasi keagamaan untuk mengawal kasus-kasus kekerasan oleh aparat secara kritis dan konsisten.
“Kalau rakyat diam, aparat akan potensial makin brutal. Demokrasi hanya bisa bertahan jika rakyat berani melawan kekerasan negara dengan suara, hukum, dan solidaritas,” pungkasnya.
Diketahui, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara (Sumut) mencatat sebanyak 17 kasus penyiksaan terjadi di wilayah Sumut sepanjang Juli 2024 hingga Juni 2025. Dari kasus-kasus tersebut, 36 orang mengalami luka-luka dan lima orang meninggal dunia.
Kepala Bidang Operasional KontraS Sumut, Adinda Zahra, mengatakan pelaku penyiksaan diduga melibatkan aparat keamanan, yakni anggota TNI dan Polri.
“Berdasarkan data yang kami himpun, ada 17 kasus penyiksaan selama satu tahun terakhir. Ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya dalam siaran pers, Kamis (26/6/2025) malam.
Adinda mengatakan, tren kasus penyiksaan di Sumut menunjukkan kenaikan signifikan. Pada periode Juli 2023–Juni 2024, tercatat 12 kasus. Sementara pada Juli 2022–Juni 2023, terdapat 14 kasus.
“Jika dibandingkan dengan periode 2019 hingga 2022 yang rata-rata hanya tujuh kasus per tahun, maka lonjakan ini cukup mengkhawatirkan,” katanya. (*)