TAJDID.ID~Medan || Indonesia menutup tahun 2024 dengan pertumbuhan PDB sebesar 5,03 %, turun tipis dari 5,05 % di tahun sebelumnya.
Memasuki kuartal IV, laju pertumbuhan tetap moderat di 5,02 % YoY, namun memasuki kuartal I 2025 mengalami penurunan tajam menjadi 4,87 % YoY, serta terjadi kontraksi -0,98 % QoQ—yang pertama sejak 2021.
Penurunan ini dipicu oleh melambatnya konsumsi rumah tangga (4,89 %), investasi (2,12 %), dan ekspor (6,78 %).
Menghadapi tekanan global—mulai dari perang dagang AS, harga komoditas yang melemah, hingga penurunan permintaan eksternal—pemerintah merespon dengan paket stimulus senilai Rp 24,44 triliun (~US $1,5 miliar) dan pemangkasan suku bunga BI menjadi 5,5 %.
Menanggapi hal itu, Shohibul Anshor Siregar mengatakan bahwa, p;ertumbuhan ekonomi tidak pernah terjadi secara alami sebagaimana pernah dimitoskan. “Kalau lebih tegas, pertumbuhab itu adalah hasil keputusan politik dan peran aktif negara.” ujarnya.
Siregar berargumen bahwa perlambatan saat ini bukanlah kegagalan pasar, melainkan indikator kegagalan negara—ya karena tidak mampu merancang dan mengeksekusi kebijakan yang berpihak pada rakyat.
“Jika ekonomi tidak tumbuh atau justru tumbuh pincang, itu alarm bagi kita untuk bertanya: apa yang salah dengan negara?” lanjutnya.
Menurut Shohibul, laju pertumbuhan di bawah 5 % bukan sekadar angka, tapi refleksi dari masalah tafsiran dan prioritas politik pembangunan—entah karena korupsi, kebijakan yang salah sasaran, atau terjebak oleh kepentingan oligarki.
Shohibul menekankan bahwa stimulus dan pemangkasan bunga yang dilakukan pemerintah sejauh ini, meski terasa tepat, masih kurang tajam jika tidak diiringi dengan akuntabilitas dan reformasi struktural.
“Meski intervensi itu bukan sebuah dosa namun intervensi tanpa transparansi dan prioritas jelas mirip sabotase,” tegas Siregar, seraya mencermati bahwa pertumbuhan lambat Q1-2025, yang didominasi sektor pertanian dan manufaktur, menunjukkan kebijakan yang belum menyentuh sektor-sektor produktif dengan multiplier tinggi .
Konteks Global dan Ekspektasi 2025
Lembaga internasional seperti OECD dan IMF memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan tetap berada di kisaran 4,7 %–5,0 % sepanjang 2025, mengingat tekanan eksternal masih kuat. OECD bahkan menyebut bahwa tanpa reformasi struktural dan percepatan belanja publik, ekonomi akan kesulitan mencapai target 5 %.
Sebagai respons, pemerintah meluncurkan stimulus Rp 24,44 triliun, mencakup subsidi listrik, bantuan sosial, diskon transportasi, dan program jaminan sosial bagi pekerja.
Namun para ekonom memperingatkan bahwa efek paket ini hanya bersifat sementara, dan bila belanja tetap lamban—sebagaimana terjadi pada kuartal I—manfaatnya akan terbatas.
Negara Harus Bertindak Lebih dari Sekadar Intervensi
Shohibul menegaskan, bahwa negara harus lebih dari sekadar memangkasi bunga atau menyalurkan subsidi. Artinya pemerintah harus: Pertama, melakukan audit publik terhadap alokasi stimulus dan belanja infrastruktur.
Kedua, memberikan arah strategis untuk sektor unggulan yang menciptakan efek berantai bagi pertumbuhan produktif.
Ketiga, memperkuat akuntabilitas dan tata kelola, termasuk mencegah korupsi dan dominasi kebijakan oleh elite terselubung.
Keempat, melibatkan publik dan lembaga pengawas agar intervensi negara benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
“Ekonomi bukan hasil kebetulan pasar, tapi rekayasa sosial-politik. Jika hasilnya timpang, itu bukan pasar yang gagal—itu negara yang gagal,” tutup Shohibul.
Di tengah realitas data 2024–2025, peringatan Shohibul ini menegaskan: pertumbuhan bukan teka-teki alam, melainkan panggilan bagi negara untuk bertindak secara cerdas, akuntabel, dan berani memprioritaskan kesejahteraan rakyat. (*)