Oleh : Nashrul Mu’minin
Di era digital yang terus berkembang ini, teknologi semakin meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang agama.
Salah satu perkembangan teknologi yang paling mencuri perhatian adalah kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Dengan kemampuannya dalam memproses data dalam jumlah besar dan cepat, AI menawarkan berbagai potensi untuk mempercepat pekerjaan manusia, termasuk dalam memberikan fatwa atau hukum agama.
Lalu, apakah mungkin AI bisa menjadi seorang mufti di masa depan? Dapatkah sebuah mesin yang tidak memiliki roh, emosi, dan pemahaman spiritual menjadi pemberi keputusan dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat beberapa perspektif terkait peran AI dalam konteks agama dan hukum Islam. Pertama-tama, perlu dipahami bahwa mufti adalah seorang ahli agama yang diakui memiliki pengetahuan mendalam dalam bidang fiqih dan mampu memberikan fatwa berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas. Fatwa seorang mufti memiliki pengaruh yang sangat besar, karena selain menjadi panduan bagi umat Muslim, fatwa juga menjadi dasar dalam pengambilan keputusan di kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, kita bertanya, apakah AI memiliki kemampuan untuk menggantikan posisi seorang mufti yang tidak hanya mengandalkan nalar rasional, tetapi juga mempertimbangkan aspek moral dan etika dalam pengambilan keputusan?
Dalam hal ini, AI tentu memiliki potensi besar untuk membantu dalam memahami dan menganalisis teks-teks agama. Dengan kemampuannya dalam memproses informasi secara cepat dan akurat, AI bisa membantu para ahli agama dalam menganalisis Al-Qur’an, Hadis, dan sumber-sumber lain yang digunakan dalam pembentukan fatwa. AI juga bisa memudahkan pencarian dan identifikasi pendapat ulama-ulama terdahulu, serta memberikan referensi yang relevan berdasarkan situasi dan kondisi tertentu.
Namun, meskipun AI dapat membantu dalam aspek analisis teks dan memberikan rekomendasi berdasarkan data yang ada, kemampuan AI untuk memahami konteks sosial, emosional, dan spiritual dari sebuah masalah agama sangat terbatas. Misalnya, dalam banyak kasus, fatwa tidak hanya bergantung pada teks, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor eksternal seperti perkembangan zaman, kondisi sosial masyarakat, dan faktor psikologis individu yang membutuhkan pertimbangan moral yang mendalam.
Seorang mufti, yang merupakan manusia, mampu mengintegrasikan semua faktor ini dalam memberikan fatwa yang sesuai dengan kondisi umat.
Selain itu, agama Islam sangat menekankan pada aspek niat dan keyakinan dalam setiap tindakan. Seorang mufti tidak hanya memberikan fatwa berdasarkan analisis hukum semata, tetapi juga mempertimbangkan niat dari orang yang bertanya, serta kondisi sosial dan psikologis mereka. AI, meskipun canggih dalam pengolahan data, tidak dapat merasakan niat dan perasaan manusia. Oleh karena itu, AI mungkin dapat memberikan rekomendasi hukum, tetapi tidak bisa menggantikan kedalaman pemahaman dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh seorang mufti dalam menghadapi kasus-kasus yang memerlukan penilaian moral.
Penting juga untuk mencatat bahwa AI, meskipun bisa mengakses informasi dari seluruh dunia, tidak memiliki pemahaman kontekstual yang dimiliki oleh manusia. Islam sebagai agama memiliki keragaman dalam memahami teks-teks suci, dan seringkali sebuah masalah membutuhkan pertimbangan mendalam dari seorang ulama atau mufti yang memiliki pengalaman hidup dan pemahaman yang lebih luas. Dalam hal ini, mufti memiliki kemampuan untuk membaca kondisi umat dan memberikan fatwa yang tidak hanya sesuai dengan teks, tetapi juga dengan semangat dan tujuan dari hukum itu sendiri, yang sering kali lebih bersifat fleksibel dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Selain itu, terdapat juga tantangan dari sudut pandang agama terkait penerimaan penggunaan AI dalam memberikan fatwa. Dalam banyak tradisi agama, keputusan-keputusan penting dalam kehidupan umat tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga bersifat spiritual. Keputusan agama sering kali melibatkan pertimbangan moral, etika, dan nilai-nilai kehidupan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan algoritma atau data. Umat Islam, misalnya, memandang pentingnya wahyu dan bimbingan rohani dalam setiap keputusan hidup, dan ini menjadi tantangan besar bagi AI yang tidak memiliki dimensi spiritual.
Namun, ada juga pandangan yang lebih optimis terhadap peran AI dalam dunia keagamaan. Beberapa pihak berpendapat bahwa penggunaan AI dalam memberikan fatwa bisa menjadi langkah maju dalam mempermudah akses umat Islam terhadap informasi hukum yang lebih cepat dan akurat. AI bisa membantu masyarakat yang jauh dari ulama untuk mendapatkan penjelasan yang sesuai dengan syariat, terutama dalam hal-hal yang bersifat umum dan tidak terlalu kompleks. Ini bisa membuka peluang bagi umat Islam yang tinggal di daerah terpencil untuk mendapatkan akses terhadap pemahaman agama yang lebih baik tanpa harus pergi jauh untuk menemui mufti secara langsung.
Meski demikian, dalam konteks ini, kita perlu mengingat bahwa AI tidak bisa menggantikan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar dalam pemberian fatwa. AI mungkin bisa membantu dalam aspek teknis dan informasi, namun, ia tidak dapat menggantikan kedalaman kebijaksanaan seorang mufti yang memahami dan merasakan kondisi umatnya.
Di sisi lain, penting untuk mengembangkan AI yang dapat mendukung proses konsultasi agama dengan lebih bijaksana. Misalnya, AI bisa digunakan sebagai alat bantu yang memberikan panduan sementara, yang kemudian perlu dikonsultasikan lebih lanjut dengan mufti atau ahli agama. Dalam hal ini, AI bisa menjadi alat yang mempermudah, namun bukan menggantikan posisi mufti itu sendiri.
Sebagai penutup, meskipun AI dapat memberikan kontribusi yang besar dalam membantu umat Islam dalam memahami hukum-hukum agama, namun untuk saat ini, posisi mufti sebagai pemberi fatwa masih tidak bisa digantikan oleh mesin. Keterbatasan AI dalam memahami nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial menjadikannya lebih cocok sebagai alat bantu bagi para ulama dan mufti dalam memberikan fatwa yang lebih tepat dan relevan. Pada akhirnya, dalam kehidupan beragama, hikmah dan kebijaksanaan tetap menjadi landasan yang lebih kuat daripada sekadar kecanggihan teknologi.
*وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْم*
(Qur’an Surah Taha 20:114)
Penulis adalah Content Writer, Yogyakarta