TAJDID.ID-Medan || Hari ini bangsa kita sudah lupa bahwa, babak awal sejarah Indonesia ditandai dengan catatan yang amat indah dan agung dalam penerapan nilai-nilai meritokrasi pada pemerintahannya. Fenomena dinasti dan familisme politik yang kita saksikan pada abad 21 ini, menunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia sedang dilanda wabah yang mendegradasi kewarasan nalar, budaya, dan demokrasi yang parah.
Demikian Shohibul Anshor Siregar dalam Diskusi Publik bertajuk “Menakar Sisa-sisa Kekuasaan Menuju Pilkada 2024” yang diselenggarakan oleh “Sahabat Indonesia Membangun” di D’Amor Cafe, Jalan Durung Medan, Jum’at, 21/6/24, sore.
Soetan Sjahrir, kata akademisi dari FISIP UMSU, ini adalah seorang pejuang kemerdekaan yang berasal dari Sumatera Barat. Ketika masih berusia di bawah 40 tahun, sudah diamanahkan oleh Soekarno untuk memimpin pemerintahan Indonesia dalam jabatan sebagai Perdana Menteri.
“Tetapi, Sjahrir tidak ditenteng oleh bapaknya, tidak didongkrak-dongkrak pamannya, dan apalagi mertuanya, untuk menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia,”ungkap Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut ini.
“Soekarno, dipastikan 100 persen, juga tidak berkongkalikong dengan Sjahrir untuk penunjukan dalam jabatan yang sangat penting itu.
Soekarno menyadari kapasitas dan integritas yang ada dalam diri Sjahrir sehingga proklamator sekaligus Presiden pertama Indonesia itu percaya bahwa bangsa Indonesia dan dunia sepakat dengan pilihan prerogatifnya itu,” imbuhnya.
Lebih lanjut Shohibul menuturkan, dunia mencatat bahwa dalam waktu yang lama Sjahrir telah menunjukkan darma bakti yang besar, dengan kecerdasannya yang sangat menonjol, untuk berjuang bersama rakyat Indonesia, dan dengan keikhlasan mengambil berbagai risiko politik, dalam memerdekakan Indonesia.
“Anda juga akan bertemu dengan nama-nama besar penuh prestasi dan integritas setelah Perdana Menteri Sjahrir. Amir Sjarifuddin, Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Abdul Halim, Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap dan lain-lain. Tidak ada orang-orang karbitan di antara mereka,” tegas Shohibul.
“Tidak ada manipulasi politik dan hukum dalam proses yang mereka tempuh untuk menjadi orang penting yang dicatat oleh sejarah Indonesia,” tambahnya.
Menurut Shohibul Anshor Siregar, nilai integritas dan merit sistem itulah yang hilang dari Indonesia abad 21 setelah seluruh takyat dipertontonkan dengan fenomena politik dinasti atau familiisme yang merontokkan substansi demokrasi.
Mengutip Samuel P Huntington dalam bukunya “The Third Wave of Democracy” (1991), Shohibul Anshor Siregar menegaskan adanya lakon-lakon politik elit Indonesia yang memanfaatkan kelemahan demokrasi untuk dikapitalisasi bagi kepentingan diri sendiri, kelompok dan keluarga mereka.
Menurut Shohibul, fenomena back sliding (kemunduran) demokrasi ini sepenuhnya didorong oleh oligarki yang ingin tetap menikmati hak-hak istimewa dalam ekonomi dan politik tanpa terusik oleh apa pun. (*)