Oleh: Haedar Nashir
Mulailah hidup dengan pandangan dan energi positif. Pagi hari adalah “the first time”, yakni waktu angkatan pertama mengawali jejak hidup. Bagi kaum beriman, tentu dimulai dengan shalat shubuh. Ada proses transendensi yang positif, karena dalam shalat ada relasi kehidupan berbasis tauhid yang positif. Memulai hidup dengan kuasa Allah. Hidup yang bergerak maju, bukan mundur apalagi anti kehidupan dunia.
Jika memulai hidup dengan positif, maka energi yang bersemi dalam diri dan yang dihasilkan pun insya Allah positif. Kalau energinya negatif, bawaannya akan negatif. Hatta dalam menghadapi masalah, sikapi dengan jiwa positif disertai ikhtiar dan penuh pengharapan. Tidak perlu menjadi pesimistis, lantas melihat dunia serba hitam dan buram. Jiwa, pikiran, dan sikap pun akan dipengaruhi oleh cara pandang yang dibangun. Apakah pandangan positif atau negatif.
Ambil pesan utama Al-Qashash 77, yang artinya: : “Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash: 77). Jalani hidup dengan jiwa ihsan. Bangun dunia dengan jiwa kekhalifahan, tapi jangan merusak kehidupan. Membangun tanpa merusak itulah pandangan dunia Islam.
Spirit Ihsan
Kunci berbuat di dunia menuju akhirat sejalan Al-Qashash 77 ialah ihsan, yakni perbuatan baik yang serba melintasi. Berbuatlah serba baik, sebaliknya jauhi yang serba buruk, keduanya akan bermuara kepada siempunya (QS Al-Isra: 7). Artinya jangan takut berbuat kebaikan meski banyak rintangan keburukan. Sebaliknya jangan senang berbuat keburukan karena mudah jalannya. Keduanya akan punya konsekuensi kepada setiap insan. Orang beriman akan percaya diri dalam berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan, karena diberi ilmu untuk mengamalkannya. Jangan bersikap dan bertindak tanpa ilmu, apalagi dengan segala waham.
Islam bahkan mengajarkan “berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan” atau “fastabiqul khairat”. Allah berfirman yang artinya: “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah: 148). Jadi kenapa harus takut berbuat baik, hatta di dalam hidup ini harus menghadapi banyak keburukan. Dunia yang buruk justru harus dihilangkan dan diganti dengan yang baik. Bukan dengan menjauhi dunia dan anti kehidupan.
Masalah memang selalu ada untuk dihadapi dan dicarikan solusi. Tapi jangan serba pesimis dan negatif dalam menghadapi dunia, serumit apapun, jika orang beriman percaya dapat berbuat ihsan. Allah mengingatkan orang beriman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 216). Masalah bisa datang dan pergi dalam hidup pribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan dalam relasi semesta. Semuanya untuk disikapi dan dihadapi. Ada yang bisa diselesaikan, boleh jadi ada yang tidak terselesaikan sebagaimana mestinya. Jangan diratapi. Apalagi disikapi dengan amarah, sesal, kebencian, dan segala luapan negatif.
Ambillah spirit dan nilai Surat al-Insyirah (Kelapangan) dalam menghadapi masalah. Allah berfirman yang artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? Dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu. Yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan sebutan nama (mu) bagimu. Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS 94: 1-8).
Hadapi masalah dengan jiwa ihsan, yakni beribadah dan bermuamalah yang terbaik karena Allah menyertai hidup setiap insan beriman. Ihsan melahirkan amal shaleh yang prokehidupan. Masalah jangan memenjara diri menjadi sosok yang garang, pendendam, pemarah, dan penyebar energi negatif atasnama apapun. Apalagi menjadi sosok yang serba negatif dan anti kehidupan dengan jiwa fanatik buta dan ekstrem.
Jangan pula disertai sikap merasa paling bersih dan suci, baik dalam beragama maupun memandang kehidupan dunia. Jika hidup merasa paling benar dan paling lurus, justru di dalamnya ada benih takabur diri yang justru dilarang Tuhan dan Nabi.
Ingatlah setiap insan itu pada dasarnya lemah dan memiliki kelemahan, maka jangan gampang menghakimi dan menghujat orang lain dengan semuci diri. Tazakku atau merasa diri paling bersih dan suci itu tidak dibenarkan Tuhan. Allah SWT mengingatkan yang artinya, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm : 32)
Pro Kehidupan
Islam itu agama yang mengajarkan kemajuan hidup bagi seluruh umat manusia. Alam dengan seluruh isinya harus diurus dan dibangun secara optimal, tetapi jangan dirusak (QS Al-Qashash: 77; Hud: 61; Al-Baqarah: 11, 30;). Kaum muslimin bahkan diangkat sebagai umat pilihan atau khayra ummah karena kehadirannya memiliki tugas suci mendakwahkan Islam (QS Ali Imran: 110). Tugas mulia itu guna melanjutkan misi kerisalahan Nabi untuk menjadi rahmatan lil-‘alamin (QS Al-Anbiya: 107). Jangan jauhi dan anti kehidupan. Jalani kehidupan dengan ihsan yang membawa kemajuan, yang membawa keselamatan dan kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Ihsan akan membawa kemajuan hidup dalam relasi habluminallah dan habluminannas yang tawasuth (tengahan) dan tawazun (berkesimbangan). Kemajuan hidup bagi kaum muslimin maupun umat manusia secara umum tidak hanya pesan normatif dan imperatif dari ajaran Islam, tetapi diwujudkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad bersama kaum muslimin dalam dalam membangun peradaban hidup yang cerah dan mencerahkan yang melahirkan era kejayaan Islam di panggung sejarah berabad-abad lamanya. Peradaban maju justru karena umat Islam berbuat ihsan yang melahirkan pencerahan atau “al-Madinah al-Munawwarah”.
Pandangan kehidupan dan keduniaan dalam perspektif Islam tidak berdasarkan humanisme tetapi berlandaskan ketuhanan atau humanisme-teosentris. Pandangan integral inilah yang menjadi ciri khas sebagai core-value (nilai inti) sekaligus distinctive (pembeda) dari Ajaran Islam yang melahirkan dunia antroposen yang terintegrasi dengan ketuhanan (iman, takwa, tauhid) untuk melahirkan pencerahan dalam kehidupan umat manusia dan alam semesta dalam visi utama rahmatan lil-‘alamin. Inilah pandangan Islam yang tengahan (wasathiyah) yang berbeda dari cara pandang sekuler maupun sebaliknya rahbaniyah yang mengambil jalan menjauhi dunia.
Karenanya, sikapi dan jalani hidup dengan ihsan dalam karakter Muslim sebagai “abdullah” yakni sebagai hamba Allah yang selalu beribadah dan pasrah kepada-Nya serta “khalifatul fil-ardl” yaitu wakil Tuhan yang bertugas memakmurkan bumi. Itulah teladan utama hidup para Nabi dan Rasul serta orang-orang bijak nan cerdas dan mulia hati dalam menjalani kehidupan di dunia. Tugas dan kewajiban setiap insan beriman ialah melakukan ikhtiar lewat segala usaha dan do’a yang sungguh-sunguh, selebihnya tawakal dan sabar kepada Dzat Yang Maha Segalanya. Hal yang terbaik berbuatlah yang positif dan membawa kemaslahatan, kebaikan, dan kemajuan hidup meskipun setahap demi setahap. Seraya jauhi yang buruk dan mafsadat dengan berbuat ihsan sebagai alternatif, bukan dengan anti dunia.
Membangun sesuatu itu lebih sulit ketimbang mengkritik dan menegasikan kehidupan, meski kritik itu tetap baik untuk pengingat agar hidup dijalani dengan seksama. Keseksamaan itu cermin ketaqwaan. Misi utama hidup insan Muslim ialah berbuat ihsan untuk memakmurkan dan memajukan kehidupan sebagaimana fungsi ibadah dan kekhalifahan manusia beriman di muka bumi.
Maka, jalani hidup dengan ihsan, bukan menjauhi dan antikehidupan. Jalaluddin Rumi sang sufi termashur memberi taushiyah spiritual yang dinamis: Jangan sampai karena orang baik itu pasif, orang dzalim yang berkuasa! (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id