TAJDID.ID~Medan || Sudah saatnya Muhammadiyah melakukan perenungan untuk menentukan prioritas dalam orientasi dakwahnya, antara mengarusutamakan amar ma’ruf atau nahi munkar.
Demikian disampaikan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar, dalam makalah yang disampaikan pada Seminar “Pandangan dan Sikap Muhammadiyah dalam Upaya Mencegah Kriminalitas” yang diselenggarakan Ikatan Mahasiswa KH Ahmad Badawi Universitas Negeri Medan, di Aula Kantor Gubernur Sumatera Utara, Ahad (19/5/2024).
“Kedua orientasi itu menuntut perlakuan berbeda sesuai situasi dan kondisi zaman. Ada kalanya harus lebih mengarusutamakan amar ma’ruf yang menandakan normalitas keadaan sosial masyarakat. Tetapi ada kalanya menuntut sebaliknya, ketika anomali sosial terjadi,” ujar dosen FISIP UMSU ini.
Sebagai contoh, saat ini orang tidak tahu mengapa teror narkoba begitu bermaharajalela di Indonesia. Dengan dakwah yang normal-normal saja, kata Shohibul, Muhammadiyah hanya akan mengikuti arah dan narasi umum yang menitik beratkan formalitas, dan akibatnya permisiveness akan menguat terhadap teror narkoba.
Apalagi jika Muhammadiyah, misalnya, dari pada menagih pemerintah menstop supply dari dalam dan luar negeri, justru lebih memilih model partisipasinya dalam bentuk pendirian lembaga rehabilitasi korban narkoba.
“Dakwahnya akan sia-sia meskipun Muhammadiyah dapat saja beroleh award atau pujian dari pemerintah yang amat minimalis,” ujar Shohibul.
Shohibul menegaskan, narkoba hanya salah satu contoh dari kasus-kasus besar yang sedang menjerat bangsa Indonesia saat ini. Tetapi, jelas Shohibul, ijtihad baru untuk merekonstruksi pengarusutamaan dakwah Muhammadiyah tampaknya tak dapat ditunda.
Dengan judul paparan “Mengawasi Kebijakan Pemerintah dengan Lensa Johan Galtung”, Shohib merekomendasikan agar Muhammadiyah melanjutkan jihad konstitusinya dengan lebih berencana dan dengan fokus perombakan legalframework demokrasi dan politik Indonesia untuk mengakhiri hegemoni oligarki modal, politik dan budaya.
Kemudian, implementasi putusan Muktamar Makassar tentang konsep “darul ahdi wasysyahadah” harus dipertegas, dan seruan dan dorongan kepemimpinan nasional IMTAQ konstitusional tanpa basa-basi harus dikumandangkan.
Selain itu, lanjut Shohibul, rekonstruksi makro ekonomi konstitusi dan perombakan struktur sosial budaya yang menindas harus menjadi agenda untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Saat ini orang relatif tidak banyak tahu bahwa kejahatan di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh para elit dan mereka terlindungi oleh struktur dan budaya. Tetapi yang ditonjol-tonjolkan justru kejahatan remeh temeh,” ungkap Shohibul.
Baca juga: Politik Uang dalam Perspektif Segitiga Kekerasan Johan Galtung
Dengan mengadopsi kerangka kerja Galtung, pemerintah dapat bergerak lebih dari sekedar respon reaktif terhadap kejahatan dan mengembangkan kebijakan proaktif yang mengatasi penyebab mendasarnya, yakni masalah kekerasan strukltural dan budaya.
Mengakhiri paparannya, Shohibul, menegaskan bahwakejahatan bukan hanya akibat dari pilihan individu, namun lebih disebabkan fenomena kompleks yang berakar pada struktursosial dan norma budaya.
Dengan mengadopsi Segitiga Kekerasan Galtung sebagai kerangka panduan, pemerintah dapat mengembangkan pendekatan yang lebih holistik dalam pengurangan kejahatan. Pendekatan ini berfokus pada upaya sungguh-sungguh menghilangkan kesenjangan struktural, menantang pembenaran budaya atas kekerasan, dan memberdayakan komunitas yang terpinggirkan.
“Dengan mengatasi akar penyebab kejahatan, pemerintah dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil bagi semua orang,” pungkasnya. (*)