Lebih lanjut Prof. Syahrin mengatakan bahwa secara teoritis, Studi Islam, seperti dikedepankan Richdr Martin, dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, Islam Normatif, yaitu studi terhadap al-Qur’ân dan al-Hadîs. Kedua, Islam Rasional, studi tentang Islam dalam bentuk hasil pemikiran dan ijtihad terhadap al-Qur’ân dan al-Hadîs. Ketiga, Islam Sosiologis yaitu Islam sebagaimana diprkatekkan umat Islam dalam kehidupan (living Islam).
“Dari tiga pendekatan itu terlihat betapa pentingnya peran Pemikiran Islam dalam karena menyangkut dua hal yaitu Islam Rasional dan Islam Sosiologis. Itulah sebabnya, Pemikiran Islam menjadi bagian integral dari ajaran Islam yakni ajaran Islam yang bukan dasar,” tegasnya.
Sejalan dengan pendapat itu, Prof. Dr. Ahmad Zuhri, MA, Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam yang turut menjadi peserta dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa dari ratusan tafsir al-Qur’ân yang telah dihasilkan para mufassir, sebagian besar diantaranya adalah ‘Tafsir Pemikiran’.
Sementara Dr. H. Sori Monang Rangkuti, M.Th, yang menimba ilmu teologi di Asia Tengah membenarkan bahwa tugas berat sekarang adalah bagaimana merevitalisasi peran Pemikiran Islam dalam kehidupan umat dan pengembangan peradaban.
Berkaitan dengan tuduhan bahwa Ilmu Pemikiran Islam sebagai ilmu yang mengawang-awang, Prof. Syahrin mengedepankan reasoning bahwa anggapan itu sebenarnya keliru. Dia menguraikan bagaimana keterkaitan antara pemikiran dengan ilmu-ilmu terapan pada umumnya.
Menurutnya,Filsafat yang merupakan induk segala ilmu (The Moder of Knowledge—dalam kaitannya dengan kehidupan manusia— berkembang menjadi logika, sebagaimana dikenal pada Logico-Aristo. Logika, dalam menyahuti kehidupan manusia dan peradaban, berkembang menjadi matematika, dan matematika dalam penerapannya melahirkan industri.
Tiga yang disebut terakhir sering disebut sebagai ilmu yang membumi, sedang dua yang pertama disebut ilmu spekulatif dan teoritis, melangit. Padahal, menurut Prof. Syahrin, ilmu yang disebut pemikiran spekulatif dan teoritis itu juga dibangun dengan pertimbangan-pertimbangan dan pengalaman empiris yang induktif.
Dia mengetengahkan skema “Filsafat~Logika~Matematika~Tegnologi~Industri”. Skema ini memperlihatkan bahwa ilmu-ilmu yang disebut terapan itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari pemikiran, yang dalam hal ini pemikiran Islam.
“Berangkat dari kenyataan itu maka Pemikiran Islam tidak dapat disebut mengawang-awang. Untuk itu adalah merupakan keniscayan untuk mengembangkan pemikiran Islam kearah Dirâsah Tathbiqiyyah, studi dan ilmu terapan, sehingga ilmu tersebut membuktikan dirinya membumi dan bersentuhan serta bepapasan dengan kenyataan kehidupan umat manusia,” sebutnya.