TAJDID.ID~Medan || Pakar hukum Dr Alpi Sahari SH MHum mengkritisi pernyataan tentang adanya Kapolda yang akan dihadirkan kubu Ganjar-Mahfud sebagai saksi dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Penyataan dengan mengkaitkan salah satu Kapolda sebagai saksi untuk menandakan telah terjadinya kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif dalam pelaksanaan Pemilu dikhawatirkan ditujukan untuk membentuk opini bahwa Polri tidak netral dan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,” ujar Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum (MIH) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, Sabtu (16/3/2024).
Alpi menilai, pernyataan dengan pola seperti ini tidak mendasar, sehingga dapat dikatakan membentuk pola.
“Di dalam sistem pembuktian tentunya keterangan saksi yang memiliki nilai pembuktian adalah keterangan saksi di persidangan, bukan di luar persidangan,
sehingga tidak layak dan tidak patut adanya pernyataan bahwa salah satu Kapolda dijadikan sebagai saksi,” kata Alpi.
“Padahal sidang gugatan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi belum dilaksanakan dan belum adanya keputusan penetapan hasil Pemilu,” imbuhnya.
Alpi mengkhawatirkan, pernyataan dengan mengkaitkan salah satu Kapolda tentunya menimbulkan kegaduhan dikalangan Kapolda se Indonesia, karena tidak menyampaikan secara jelas siapa Kapolda dimaksud.
“Disamping itu dapat menimbulkan persepsi negatif dan asumsi-asumsi meluas dikalangan masyarakat terhadap insitusi Polri yang saat ini tingkat kepercayaan masyarakat cukup tinggi dalam mewujudkan pengabdian bagi bangsa dan negara, termasuk mewujudkan Pemilu yang aman dan damai,” tegasnya.
Alpi menjelaskan, di dalam sistem pembuktian yang disebut keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan dalam sidang dan keterangan yang dilihat sendiri, didengar sendiri dan dialami sendiri.
Sedangkan saksi yang hanya mendengar dari penuturan orang lain tentang sesuatu yang tak didengar langsung, atau tidak dilihat langsung atau tidak dilihat langsung atau tidak dialami langsung atau disebut saksi de auditu.
Di samping itu, kata Alpi, tanpa didukung alat bukti lain tidaklah dinilai sebagai keterangan saksi. Dalam Bahasa latin dikenal dengan adagium unus testis nullus testis, sedangkan dalam Bahasa Belanda dikenal dengan een geutigen not geutigen.
“Artinya, adanya peryataan bahwa salah satu Kapolda sebagai saksi tanpa menyebutkan indentitas yang jelas atau rangkaian informasi yang disampaikan sehingga membentuk profil yang jelas tentang seseorang (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008) dapat mendegradasi institusi Polri sebagai salah satu pilar Negara dalam konteks Trias Politica,” sebutnya.
Lebih kanjut Alpi menjelaskan, bahwa prinsip sistem pembuktian seperti ini juga dikenal dalam hukum pidana terkait pembuktian antara lain: Pertama, negatif beginselen bewerhijk. Kedua, beyond resoinable dubt. Dan ketiga, unus testis nullus testis.
“Artinya, keterangan saksi hanya berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lainnya maka tidak memiliki kekuatan pembuktian,” kata Alpi
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP.
“Sebab, arti penting saksi bukan terletak pada apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya,” pungkasnya. (*)