Perdebatan antara kalangan Islam maupun nasionalis tak hanya mengenai dua masalah diatas, akan tetapi juga merambat ke permasalahan lain seperti tentang Pasal 28 dengan Bab 7 tentang presiden harus orang Indonesia Asli dan beragama Islam, serta presiden disumpah menurut agamanya. Dalam hal ini giliran Ir Soekarno yang keberatan akan isi pasal tersebut, dan mengajukan penghapusan kalimat “ menurut agamanya”. Lagi-lagi beliau berargumen bahwa ini merupakan sebuah kompromi dari panitia. Maka Ki Bagus Hadikusumo meresponnya dengan statmentnya :
”Saya berlindung kepada Allah dari setan yang merusak. Tuan-tuan dengan pendek sudah berulang kali diterangkan di sini, bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam, sebab corak ’Islam agama dan negara’ itu sudah diterangkan. Begitulah arti perkataan. Kalau voorstel (usulan pen.) itu memang ditolak, artinya tidak berarti senyata-nyatanya negara itu akan netral dalam hal agama. Karena voorstel saya, pilih saja yang terang-terang, dari pada saya tidak mengerti dan tidak boleh diterangkan. Dengan alasan-alasan dalam beberapa ayat yang menunjukkan bahwa Islam, tentang hal pembelaannya, tentang hal ekonominya, tentang hal segala-galanya, mempunyai ideologi sebagaimana yang sudah diterangkan. Jadi saya menyetujui usul Tuan Kahar Muzakir tadi, kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima. Jadi nyata negara ini tidak berdiri atas agama Islam, dan negara akan netral. Itu terang-terangan saja, jangan sedikit-sedikit diambil kompromi seperti diterangkan Tuan Soekarno. Untuk keadilan dan kewajiban tidak ada kompromis, tidak ada. Terang-terangan saja kalau memang ada keberatan akan menerima ideologi umat Islam, siapa yang mupakat yang berdasar agama Islam, minta supaya menjadi satu negara Islam. Kalau tidak, harus netral terhadap agama. Itulah terang-terangan, itulah yang lebih tegas. Kalaukalau sudah nyata netral jangan mengambil-ambil perkataan Islam yang rupanya hanya dipakai ujung-ujungnya saja. Orang-orang mengerti betul pengalaman ini. Orang Islam sungguh mengerti perkara agama. Kalau ada perkataan yang rupa-rupanya dipakai ujung-ujungnya saja, tidak nyata-nyata berarti, saya tahu bahwa tidak baik kesannya pada umat Islam. Karena itu saya mupakat dan setuju dengan kehendak Tuan Abdul Kahar Muzakkir, coba distem saja dengan terangterangan, siapakah yang mupakat supaya negara ini berdasar Islam, dan siapa yang tidak. Atau, oleh karena di sini ada macam-macam agama, supaya diusulkan apakah negara ini berdasarkan agama atau tidak. Kalau diputuskan tidak, habis perkara. Kalau masih ada pendapat, bagaimana dasarnya? Kristenkah, Islamkah, Budhakah? Atau lainnya lagi, ini barulah kita boleh memilih. Jadi terang dan beres. Saya kira, itu adalah usul yang sebaikbaiknya. Kalau memang tidak, sama sekali tidak, kalau ya, ya. Itu pendapat saya yang bulat. Barang kali dengan begitu beres soalnya. Kita menghadapi mata-mata musuh, Tuan-tuan, jangan hendaknya keras-kerasan, tetapi berkepala dingin. Saya minta yang terang saja, dan saya mupakat dengan Tuan Muzakir. Supaya beres, betulkah usul sekarang tentang agama itu. Berdasar agamakah, atau tidak? Ini perlu saya terangkan. Wassalamualaikum ww. (Risalah Sidang … hlm. 351).
Sidang terus berlanjut dengan panas. Dua kubu terus beradu argumen dalam memperjuangkan ide dan gagasan mereka. Hingga akhirnya Dr. Rajiman selaku ketua sidang menangguhkan sidang hingga keesokan harinya.
Maka di keesokan harinya, bertepatan pada tanggal 16 juli 1945, setelah dibuka oleh Dr Rajiman selaku ketua sidang, ia meminta Soekarno untuk mebuka sidang tersebut dengan pidatonya. Dalam pidato tersebut, Ir Soekarno mengajak peserta sidang agar tidak terlalu larut pada perdebatan, karena sejatinya, ada hal yang lebih urgent ketimbang berlarut-larut dalam mempertahankan gagasan mereka di sidang tersebut, ialah tersegerakannya realisasi kemerdekaan tanah air tercinta, yang sudah sekian lama ditunggu oleh masyarakat Indonesia. Maka setelah pidato Soekarno, tidak ada lagi statment para anggota sidang yang menjuru pada perdebatan.
Pada tanggal 18 Agustus, sehari setelah merdekanya bangsa Indonesia melalui proklamasi yang di proklamasikan oleh Ir Soekarno pada 17 agustus 1945, diadakanlah sidang PPKI. Ki Bagus Hadi Kusumo terdaftar sebagai anggota didalamnya. Sidang tersebut bertujuan untuk menetapkan UUD, menetapkan presiden dan wakil presiden, serta pembentukan komite nasional Indonesia. Sidang yang direncanakan dimulai pukul 09.00 tersebut molor hingga pukul 11.00. dan dalam renggang waktu 2 jam tersebut, terjadi banyak perubahan sepihak terhadap naskah preambul yang telah disepakati Bersama pada sidang BPUPKI silam. Maka Ketika Sidang dibuka pukuk 11 siang, Soekarno menjelaskan adanya beberapa perubahan terhadap naskah UUD, dan kemudian meminta kepada Wakil Ketua, Mohamad Hatta untuk menyampaikan perubahan-perubahan tersebut. Telah masuk berbagai usul kepada PPKI yang patut diperhatikan. Hal itu menyebabkan perubahan-perubahan kecil.
Pertama, menghilangkan pernyataan Indonesia Merdeka. Dengan demikian, naskah preambul kembali ke teks awal yang dibuat oleh panitia 9.
Kedua, mengganti klausul ”berdasar kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya” dengan rumusan baru ”…berdasar kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
Ketiga menghilangkan kata yang ”beragama Islam” dari Pasal 6 ayat 1, sehingga berbunyi Presiden ialah orang Indonesia asli.
Keempat, Pasal 29 ayat 1, dibuang klausul ”dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk menyesuaikan dengan perubahan pada preambul.
Keseluruhan perubahan ini telah mendapatkan kesepakatan dari berbagai golongan. ”Ini mempermudah pekerjaan selanjutnya.” kata Hatta. Keseluruhan perubahan di atas adalah terkait dengan hubungan agama dan negara. Selain itu masih terdapat beberapa perubahan, misalnya ”Presiden Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan” ditambah dengan ”menurut Undang-undang Dasar”. Kemudian ayat 2 Pasal 4, Wakil Presiden tidak lagi dua orang tetapi satu orang saja, demi efisiensi. Dan masih ada beberapa perubahan yang tidak disebut dalam paper ini, karena tidak terkait dengan masalah hubungan agama dan negara.
Melihat begitu banyak perubahan sepihak ini, Ki bagus Hadi Kusumo tentu menentang keras dan kembali memperjuangkan gagasannya, dan tentu perdebatan para tokoh dari golongan Islam dan nasionalis kembali terulang. Alasan mendasar terjadinya perubahan sepihak ini adalah adanya rasa keberatan dari penganut Kristen di wilayah timur mengenai naskah preambule yang terdapat pada pembukaan Piagam Jakarta. Ir. Soekarno sebenarnya ingin mempertahankan kesepakatan awal. Namun adanya keterdesakan waktu yang dialami bangsa Indonesia, dimana mereka dituntut untuk segera menyusun undang-undang, diantara himpitan Jepang-Belanda, sedangkan Masyarakat Kristen Timur mengaku keberatan dengan pembukaan Jakarta charter, memaksa terjadinya perubahan sepihak mendadak ini.
Dan kali ini Ir Soekarno menjanjikan solusi pembahasan ulang Undang-Undang Dasar negara pada perkumpulan wakil wakil bangsa Indonesia pada sidang TAP MPR 6 bulan lagi. Ir Soekarno pun juga mengutus Kasman Singodimedjo untuk melobi Ki Bagus Hadikusumo agar menerima kenyataan pahit ini.
Maka setelah pertimbangan yang matang, dengan memperhatikan maslahat pada waktu itu, Ki Bagus Hadikusumo memilih untuk berlapang dada menerima realita yang ada, mengalah demi persatuan bangsa Indonesia, serta terealisasinya pembentukan sebuah negara baru yang telah lama diidamkan oleh masyarakat setempat, sebuah negara dengan bentuk kesatuan republik yang bernama Indonesia dengan dasar Pancasila!