Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Pemerhati yang jeli akan tiba pada kesimpulan bahwa debat babak I yang membahas masalah hukum, HAM, pemerintahan, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peningkatan pelayanan publik dan kerukunan warga ini adalah arena yang sangat egaliter untuk mengevaluasi dan bahkan membongkar habis kinerja Joko Widodo khususnya pada periode kedua kepemimpinannya.
Kesebelas panelis yang mempersiapkan pertanyaan sesuai penugasan Komisi Pemilihan Umum (KPU), saya duga, dalam proses perumusan pertanyaan itu, pernah terbentur dengan kebimbangan dan terlibat dalam diskusi yang alot untuk mencari rumusan pertanyaan teraman agar tidak terlalu membahayakan kepada posisi Joko Widodo.
Alhasil, Prabowo Subianto menempatkan diri sebagai bumper untuk Joko Widodo dan terus berusaha memuji. Ia dan timnya tentu telah beroleh kepastian bahwa dalam rivalitas pilpres kali ini pengaruh Joko Widodo masih sangat kuat dan mampu menjadi daya tarik untuk menarik pemilih terbesar.
Anies Rasyid Baswedan terlihat jelas tidak mendasari semua narasinya dengan niat sentimen, melainkan berusaha merepresentasikan pikiran orang banyak dalam kaitannya dengan semua isyu yang diperdebatkan. Dengan metode berfkir akademis dan bahasa yang lugas, ia hanya berusaha memberi eksplanasi (penjelasan) atas kenyataan, membuat prediksi ke depan jika semua kenyataan itu tidak diperbaiki, dan memberi pokok-pokok pikiran orisinal sebagai jalan keluar dari kerumitan yang menimpa kehidupan bangsa.
Dampaknya dirasakan begitu sulit oleh Prabowo Subianto yang bahkan hingga membawanya ke suasana kurang stabil dengan emosionalitas yang akhirnya kurang terkendali. Kemudian, ketika kesempatannya tiba, Prabowo Subianto juga tidak memiliki kemampuan untuk memberi tohokan mematikan. Karena, faktanya, secara akademis, semua pertanyaan yang diasumsikannya akan menohok, justru dapat dengan amat manis diposisikan tidak akurat, kalau bukan tak berbobot, oleh Anis Rasyid Baswedan.
Ganjar Pranowo terlihat jelas berusaha mengambil keuntungan dari ketegangan kedua capres itu. Tetapi orang pasti faham, tidak ada nilai orisinalitas yang dapat dipetik dari cara kurang elegan seperti itu. Apalagi, berdasarkan pengalamannya dalam politik dan pemerintahan selama ini, ia sebetulnya kurang memiliki pikiran yang cukup jitu untuk menyelesaikan problematika Indonesia yang ia juga berusaha menyatakannya dengan penuh ketegasan.
Jika dibandingkan narasi ketiga capres, kadar substansi lebih dimiliki oleh narasi Anies Rasyid Baswedan, disusul oleh Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Anies Rasyid Baswedan terbiasa dengan filosofi dan perbandingan masalah untuk berusaha keluar dengan sebuah gagasan orisinal untuk solusi sebuah masalah. Prabowo Subianto juga mendekati kualitas yang sama, namun cukp kentara dengan doktrin-doktrin kemiliteran yang dalam perkembangan terbaru geopolitik global sangat memerlukan revisi tajam dalam asumsi dan strategi.
Sedangkan Ganjar Pranowo yang cukup terbiasa dengan komunitas politiknya yang tak memantangkan keniscayaan pencitraan di atas segalanya otomatis lebih mahir bernarasi seputar hal-hal yang tak mendasar dalam kajian dan pemikiran. Itu memang dapat lebih mudah ditangkap oleh rakyat Indonesia yang mayoritas masih cukup awam.
Kesimpulannya debat babak I ini berhasil mendegradasi Joko Widodo dan pasangan yang diusungnya secara cawe-cawe (Prabowo-Gibran), dan memperjelas arah yang harus ditempuh dalam kebimbangan Ganjar Pranowo antara ingin mengkapitalisasi aspek historis sebagai wakil dari komunitas politik yang memerintah selama hampir sepuluh tahun terakhir bersama Joko Widodo atau mencaci-makinya.
Prabowo dan Ganjar tak berhasil memberi perlawanan atas keunggulan integritas, penguasaan masalah dan keunggulan jalan pikiran solutif yang ditampilkan oleh Anies Rasyid Baswedan selama debat. (*)
Penulis adalah Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut