TAJDID.ID~Medan || Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr Alpi Sahari SH MHum mengatakan, Polri sebagai institusi yang bertanggungjawab terselenggaranya Pemilu yang aman dan damai dalam tatanan pemeliharaan Kamtibmas dan Kamdagri tentunya tidak terlepas dari tekanan masyarakat.
“Ikhtiar atas tekanan masyarakat ini mengharuskan Polri untuk responsif terhadap berbagai potensi yang dapat mengganggu terselenggaranya Pemilu yang aman dan damai. Responsibilitas Polri tidak memiliki kaitan dengan netralitas Polri dengan asumsi keberpihakan Polri dengan salah satu pasangan Calon Presiden yang telah ditetapkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum),” ujar Alpi, Ahad (19/11/2023)
“Tekanan Polri adalah merespon harapan masyarakat agar Pemilu terselenggara secara aman dan damai sehingga tujuan Negara dalam konteks negara kesejahteraan di alam demokratisasi dapat terimplementasi dengan baik dengan harapan Indonesia Emas dapat terwujud,” imbuhnya.
Dr Alpi mengungkapkan, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prawobo, MSi telah merumuskan direktif penekanan agar Polri selalu menjaga netralitas dalam setiap tahapan Pemilu, termasuk memproses terhadap oknum anggota Polri yang tidak netral dan keterpihakan dengan salah satu pasangan calon. Menurut Alpi, hal ini tentunya didasarkan pada sistem pembuktian yang dianut pada tatanan Negara hukum, tidak didasarkan pada asumsi dan tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar sehingga dapat mempengaruhi persepsi negatif terhadap institusi Polri sebagai pilar Negara di bidang Kamtibmas dan Kamdagri.
“Untuk itu, tidak baik dan tidak pantas apabila institusi Polri dibawa-bawa keranah politik praktis. Kritik netralitas seharusnya tidak hanya ditujukan pada institusi Polri yang tidak memiliki kaitan dengan politik praktis, padahal ada beberapa ketua Partai Politik, calon Presiden dan Wakil Presiden yang menduduki jabatan Menteri atau Penyelenggara Negara yang seharusnya dikawal dan dikritik serta diawasi untuk tetap menjaga netralitas,” jelas Alpi.
Karena itu, kata Alpi, ketegasan Jenderal Sigit agar Polri tetap menjaga netralitas pada setiap tahapan Pemilu dengan komitmen terselenggaranya Pemilu yang aman dan damai perlu diapresiasi. Atas kritik adanya oknum anggota Polri yang tidak netral tentunya didasarkan pada mekanisme hukum berupa pembuktian, bukan lansung dijadikan konsumsi publik dengan membangun opini bahwa Polri tidak netral atau ditekan untuk tidak netral.
Dr Alpi menjelaskan, di dalam sistem hukum pidana yang dianut di Indonesia mengenal bentuk kesalahan (schuld) yakni kesengajaan dengan maksud atau kesengajaan patut menduga atas pemberitahuan dapat menimbulkan keonaran dikalangan rakyat yang dikenal dengan istilah opzet als oogmerk, opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn, opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn atau opzet bij mogelijkheidsbewustzijn atau voorwaardelijk opzet.
Di samping itu, kata Alpi, hukum pidana mengenal kualifikasi delik tuduhan secara memfitnah atau lasterlijke verdachtmaking.
“Contoh kongkritnya: S mencuri handphone milik T. Handphone yang dicuri tersebut dimasukkan ke dalam tas U dengan tujuan bahwa nanti yang dituduh mencuri hanphone tersebut bukanlah S melainkan U. Tindakan S dikatakan sebagai tuduhan secara memfitnah atau lasterlijke verdachtmaking,” pungkas Dr. Alpi. (*)