TAJDID.ID~Yogyakarta || Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, menjelang hadapi Pemilu 2024, Muhammadiyah harus seksama dalam menghadapi situasi politik, dan memandangnya dengan multi perspektif dan aspek.
Pandangan yang multi perspektif ini menurutnya yang digunakan oleh PP Muhammadiyah dalam melihat berbagai dinamika perkembangan politik Indonesia saat ini, jadi bukan karena takut dan lain sebagainya.
“Karena kita organisasi besar Islam yang memiliki signifikansi dan pengaruh dalam kehidupan dan kebangsaan, yang itu tidak bisa dibeli dengan kuantitas,” tutur Haedar dalam Agenda Rakernas Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jum’at (29/9).
Dikutip dari laman muhammadiyah.or.id, Haedar mengenaskan, saat ini Muhammadiyah senantiasa memperbaiki kekurangan yang ada pada tubuhnya, dengan tujuan untuk menjadi organisasi Islam yang terbesar di muka bumi.
Menjaga Pandangan Politik Muhammadiyah
Kebesaran Muhammadiyah harus dijaga, tidak boleh tergerus hanya karena urusan politik pragmatis yang memang bertujuan untuk kekuasaan. Sedangkan peran politik Muhammadiyah itu berbeda, yakni politik kebangsaan atau high politics.
“Ada politik kebangsaan yang dalam istilah kita itu politik kenegaraan, yang menjadi bidang garap Muhammadiyah. Dan ini sudah berlangsung lama, dan itu merupakan pilihan dan ijtihad politik,” kata Haedar.
Oleh karena itu, kepada para kader persyarikatan harus pandai dan bisa meletakkan pandangan politiknya sebagaimana putusan yang telah disepakati oleh organisasi. Sebab sebagaimana kehidupan lain, politik juga mengandung sisi praktis, dan idealis.
“Lalu dinamikanya juga seperti dinamika kehidupan lain, yang tidak selalu linier. Karena selalu ada multi aspek yang saling mempengaruhi, maka itulah yang sering disebut cross cutting of interest,” jelasnya.
“Maka akan keliru jika memandangnya hanya dari satu sudut pandangan,” imbuhnya.
Dalam sudut pandangan teologis, kata Haedar, Muhammadiyah melihat politik sebagai urusan muamalah duniawiyah, seperti urusan ekonomi, dan seterusnya. Berangkat dari pandangan tersebut, Muhammadiyah memilih jalur politik kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
“Ini berbeda dengan pandangan integralistik atau utopis, bahwa politik itu sama dan sebangun dengan Islam itu sendiri. Atau yang sekuler, bahwa urusan politik sebagaimana urusan dunia, urusan politik harus dipisahkan dari urusan agama,” kata Haedar.
“Titik bedanya adalah Muhammadiyah dengan pandangan Islam yang modernis, reformis, dan moderat tidak melihat adanya ajaran yang detail, tunggal, dan konkrit mengenai politik, termasuk sistem kekuasaan dalam Islam,” tambahnya.
Pandangan tersebut memiliki dasar dari dalam Islam. Haedar menjelaskan, setelah melakukan pemeriksaan atau penelitian, juga tidak ada konsep kepemimpinan yang sophisticated dalam Islam.(*)