Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Banyak yang menduga bahwa putusan penundaan pemilu oleh PN Jakarta Pusat adalah skenario lama yang baru dimunculkan sesuai timing yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Saya sependapat dengan dugaan itu. Karena melihat nama-nama besar pendukung rezim yang terus menyuarakan perpanjangan masa jabatan dan atau penundaan pemilu seluruhnya berada dalam internal rezim. Mobilisasi Kades yang meminta perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun dan boleh menjabat sampaiperpanjangan masa jabatan menjadi 3 periode (menjadi 27 tahun), pun ada dalam rezim.
Lucunya, Presiden Joko Widodo tidak menegur dengan bahasa yang jelas-tegas.
Saya mencatat dua ucapan paling kuat dari beliau: pertama, “itu menampar muka saya”. Kedua, “saya tegaklurus konstitusi”.
Jika benar mobilisasi politik perpanjangan masa jabatan itu menampar muka beliau, mengapa bisa terulang terus?
Akan halnya tegaklurus konstitusi juga ternyata dapat bermakna ganda. Bahwa jika amandemen konstitusi dilakukan untuk memberi peluang bagi presiden untuk berkuasa lebih dari dua periode, Presiden Joko Widodo tegaklurus ke dalil baru itu.
Kemudian, anggaran Pemilu yang dicicil ke KPU sudah lama dikeluhkan dan hingga kini belum tuntas.
Dari kasus PN Jakarta Pusat yang menghebohkan itu saya mencatat beberapa hal, demikian:
Pertama, memang legalframework pemilu Indonesia masih half-done untuk dapat dikatakan memadai sebagai jaminan atas pemilu yang berintegritas. Hari ini rakyat Indonesia tahu bahwa otoritas untuk menunda dan mungkin membatalkan pemilu tak jelas dipegang oleh lembaga mana.
Kedua, KPU sebagai titik lemah menjadi entry point. Bahwa hanya dengan fakta KPU itu amat lemah, gugatan kepadanya bisa terjadi. Sebelum ini ada partai yang dinyatakan gagal verifikasi dan ketika mereka melawan terbongkarlah informasi yang bersifat konspiratif.
Ketiga, jika kita membaca utuh hasil putusan PN Jakarta Pusat, kita menjadi tahu petitum yang diajukan penggugat melawan KPU itu berdasar dugaan dan pemaparan bukti-bukti material tentang Perbuatan Melawan Hukum. Dalam balas-membalas argumen dan bukti, hakim dapat mengetahui KPU kalah dan sembarangan meminta hakim menyatakan argumen penggugat kabur. Saya sependapat dengan hakim itu.
Keempat, penggugat sudah melakukan upaya hukum sebelumnya, dan sayang sekali hal itu tidak beroleh kepuasan dan menyatakan perlawanan hukum selanjutnya. Pada PN Jakarta Pusat, materi gugatan penggugat adalah, sekali lagi, Perbuatan
Melawan Hukum yang mengakibatkan penggugat sebagai parpol dihilangkan kesempatannya untuk berpartisipasi politik melalui pemilu.
Demokrasi itu seperti karet dan selalu dapat diterjemahkan secara subjektif untuk kepentingan siapa saja yang ingin memanfaatkannya untuk kekuasaan dan atau kepentingannya,
Para ahli di dunia bilang, gelombang demokrasi ketiga yang berlangsung kini penuh tantangan melahirkan defisit demokrasi. Kekuasaan amat penting dan para penguasa selalu dapat dengan kreatif mencari cara untuk beroleh insentif kekuasaan bagi diri dan lingkaran terdekatnya.
Xi Jinping telah melakukannya dengan sukses. Begitu juga Vladimir Putin. Terakhir, salah satu faktor pwnting yang wajib dilakukan untuk memperbaiki legalframework pemilu ialah penyertaan seluruh parpol dalam KPU dan pengalokasian dana kepada parpol untuk menjaga suara di TPS.
Jika itu dilakukan, barang sedikit akan merubah wajah hasil pemilu semakin berintegritas. (*)