TAJDID.ID~Medan || Ethics of Care menilai keberadaan sejumlah lampu penerangan jalan umum (LPJU) ikonik Kota Medan yang berjejer pada beberapa titik di sepanjang jalan terkesan mubazir belaka.
“Betapa tidak lampu jalan mirip ‘pocong’ berbiaya total anggaran sebesar lebih Rp25,7 miliar sudah disfungsi alias lampu tersebut dalam kondisi mati,” ujar Founder Ethics of Care, Farid Wajdi melalui keterang tertulisnya, Ahad (5/3/2023).
“Bahkan jauh sebelum lampu tersebut difungsikan fondasi tiang lampu sudah hancur, selain besi yang sudah berkarat, tiang yang miring dan banyak tumbang,” imbuhnya.
Diketahui Pemerintah Kota (Pemkot) Medan membangun 1.700 lebih lampu jalan yang rencana dipasang di delapan ruas jalan yakni Jalan Gatot Subroto, Jalan Sudirman, Jalan Tengku Imam Bonjol, Jalan Putri Hijau, Jalan Brigjend Katamso, Jalan Ir. H. Juanda, dan Jalan Suprapto.
Sejak semula, kata Farid, lampu ikonik mirip pocong ini banyak menuai kontroversi terkait arah lampu ke posisi pejalan kaki, karena masih banyak pedestrian yang belum diperbaiki.
“Banyak pertanyaan, dalam perencanaan proyek LPJU, apakah memang prioritas dalam penyelesaian masalah kota? Dari mana sumber daya energi listriknya? Apa dampak bagi estetika dan tata wajah kota? Siapa yang melakukan perawatan sehingga tidak mubazir seperti kondisi saat ini?,” kata Farid.
Farid mengatakan, berdasarkan pantauan, dan laporan proyek LPJU tersebut justru telah gagal dan bahkan merusak wajah kota. “Siapa yang harus mempertanggungjawabkannya? Ketika proses proyek LPJU dimulai lampu-lampu yang sebelumnya berfungsi dalam sebagai penerangan jalan dicabut dan diganti dengan lampu ‘pocong’. Tetapi karena LPJU yang ada sudah tidak berfungsi, berakibat kepada kondisi gelap gulita, jalan utama-protokol ini rawan terjadi aksi kejahatan, seperti penjambretan dan pencurian dengan kekerasan,” sebut Farid.
Belum lagi pemasangan LPJU menambah masalah makin dipinggrikan hak para pejalan kaki akan trotoar. Sebagai unsur penunjang prasarana vital kota, menurut Farid trotoar memiliki peranan yang penting bagi pengguna jalan. Trotoar merupakan jalur bagi pejalan kaki yang letaknya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan. Jalur ini biasanya memiliki lapisan permukaan yang lebih tinggi.
Pada awalnya, lanjut Farid, keberadaan trotoar adalah sebagai jalur bagi pejalan kaki untuk menghindari kendaraan bermotor. Namun seiring berjalannya waktu, pejalan kaki juga membutuhkan fasilitas yang nyaman untuk berjalan kaki, sehingga tercipta trotoar dengan pembatas berupa kerb.
Farid menjelaskan, dasar hukum yang mengatur tentang pengguna jalan dan pejalan kaki diatur dalam Pasal 131 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, tertulis aturan mengenai hak yang diperoleh oleh pejalan kaki, yaitu: Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.
Farid menilai, posisi LPJU justru telah merampas hak pejalan kaki hak atas trotoar dan semakin menambah kesemrawutan wajah kota Medan. Apalagi ditrotoar itu dibangun juga kursi batu. Padahal keberadaannya justru membatasi gerak pejalan kaki.
“Jika sudah begitu, sebenarnya Pemkot Medan sedang mencari apa dan untuk siapa?,” kata Farid dengan nada mempertanyakan. (*)