Lebih umumnya, tradisi timur reformasi astronomi berakar dalam matematisasi astronomi secara sistematis dan, hingga sajauh tertentu, bahkan matematisasi sistematis atas alam itu sendiri. Sebuah kajian baru-baru ini mengenai Al-Takmilah fi syarh Al-Tadzkirah Al-Khafri (w. 1525) menjelaskan salah satu ciri utama tradisi ini. Al-Khafri utamanya adalah seorang ulama yang menulis tafsir yang sangat pelik mengenai Tadzkirah-nya Nashir AL-Din AL-Thusi, salah satu karya klasik dalam tradisi reformasi timur. Dalam karya tersebut, AL-Khafri menyuguhkan penjelasan yang saksama untuk berbagai model alternatif yang diusulkan oleh astronom-astronom sebelumnya. Akan tetapi, tujuan penyuguhan ini bukanlah untuk mencari model yang benar, bukan pula untuk memutuskan model mana yang sesuai dengan kosmologi yang ideal atau yang diutamakan, melainkan untuk memapankan ekuivalensi matematis dari semua model tersebut.
Kembali kepada pertanyaan yang saya munculkan sebelumnya, yakni apakah kita bisa memikirkan tradisi penelitian astronomi ini sebagai perluasan dari kecenderungan deskriptif yang dimulai oleh ptolemeus sendiri? Jawabannya, menurut pandangan saya, adalah “tidak”. Pertama-tama, adalah tidak akurat untuk berbicara tentang sebuah aliran matematis dan aliran filosofis dalam astronomi Yunani, karena para astronom yang memberikan model-model matematis dengan melanggar fisika Aristoteles tidaklah meneorikan keunggulan prinsip-prinsip matematika atas prinsip-prinsip filsafat. Di samping itu, apa yang dianggap sebagai aliran astronomi matematis ini berpuncak pada ptolemeus, yang memandang model-modelnya cacat karena tidak sepenuhnya sesuai dengan kosmologi Aristoteles. Sebaliknya, dalam kasus tradisi astronomi Islam Timur, model-model matematis yang diusulkan adalah pilihan-pilihan teoretis dan epistemologi yang sengaja, yang dipandang sebagai alternatif-alternatif bagi piliham filosofis. Tradisi reformasi ini, dengan demikian, menggeser pemahaman tentang ilmu fisika dari metafisika ke matematika.
Pada gilirannya, pergeseran ini meletakkan fondasi bagi kematian fisika Aristoteles dan munculnya sains-sains baru. Meskipun ada keragaman solusi yang mereka usulkan, perubahan fundamental bersama yang diperkenalkan oleh para astronom timur Muslim adalah dalam memahami apa yang membentuk sebuah prinsip. Prinsip-prinsip yang dipergunakan oleh para astronom ini tidak berasal dari spekulasi filosofis tentang hakikat benda-benda langit (seperti halnya dalam kasus prinsip-prinsip yang diadopsi oleh ptolemeus), tetapi dari ilmu matematika. Misalnya, prinsip yang mengatakan bahwa gerakan seragam sebuah planet hanya bisa berupa mangitari sebuah poros yang melewati pusatnya, karena rotasi lain yang mana pun, menurut definisinya sendiri, karena rotasi lain yang mengatakan bahwa gerakan seragam sebuah planet hanya bisa berupa mengitari sebuah poros yang melewati pusatnya, karena rotasi lain yang mana pun, menurut definisinya sendiri, tidaklah seragam.
Pada saat yang sama, Al-Urdhi misalnya, tidak ragu-ragu untuk membelikkan arah gerakan tersebut dalam model yang diusulkannya, karena dia bisa mereproduksi pengamatan-pengamatan ptolemeus sambil mempergunakan planet-planet yang berotasi secara seragam mengitari pusat-pusat mereka; AL-Urdhi niscaya tidak mungkin membayangkan gerakan retrograde ini sebagai gerakan yang sesuai dengan realitas, melainkan hanya sebagai gerakan yang memungkinkan dilakukannya prediksi terhadap posisi planet-planet. Sama halnya, kopel Thusi dan lemma-nya Al Urdhi hanyalah perangkat matematis murni yang tidak memiliki korepodensi fisik. Sementara tujuan tradisi astronomi Islam Barat adalah untuk menyelamatkan teori (meta) fisika, tujuan tradisi timur adalah untuk menyelamatkan fenomena serta ilmu fisika yang baru dibangun. Dalam ilmu fisika ini, prinsip-prinsip matematis ini bukanlah sekedar alat-alat atau kendaraan-kendaraan untuk mengkaji alam, melainkan juga untuk mengonsepkannya.
Filsafat, yang merupakan disiplin yang menaungi disiplin-disiplin lainnya dalam klasifikasi Yunani, sedikit demi sedikit diturunkan derajatnya dalam hierarki pengetahuan Islam menjadi satu subdivisi di antara banyak sains lainnya. Setelah memencilka filsafat, kaum Muslim selanjutnya bisa menganggapnya sebagai sumber potensi konflik dengan agama tanpa mendatangkan bahaya kepada sains-sains lainnya yang sifatnya bisa didemonstrasikan (demostrable sciences). Tradisi (Islam) barat dalam penelitian astronomi menganut metafisika Yunani lama, sementara tradisi timur tidak. Karenannya, adalah sah untuk memandang tradisi reformasi astronomi yang disebut belakangan ini sebagai perkembangan islami yang spesifik, dan mengangap pandangan-pandangan yang dianut dalam perumusan anggota-anggota tradisi ini sebagai indikasi tentang apa yang “islami” dari sains Islam. Sebuah ciri yang menonjol dari tradisi reformasi astronomi ini adalah pengembangan prinsip-prinsip matematis untuk menggantikan prinsip-prinsip astronomi fisik yang lebih tua, atau lebih tepatnya prinsip-prinsip astronomi metafisik. Dipahami secara demikian, wilayah-wilayah tempat sains dan agama saling beririsan direduksi, dan pengetahuan saintifik dipisahkan dari pengetahuan keagamaan. Oleh karena itu, hingga tingkat tertentu, islamisasi sains dalam praktik para astronom Muslim Abad pertengahan sebetulnya berarti sekularisasi sains. (*)
Sumber: integrasi.science
Ahmad Dallal adalah Dekan Universitas Georgetown di Qatar. Hingga Musim Panas 2017, ia adalah seorang profesor sejarah di Departemen Sejarah dan Arkeologi di American University of Beirut, di mana ia menjabat sebagai Provost dari 2009-2015. Dallal telah mengajar di Smith College (1990-1994), Universitas Yale (1994-2000), Universitas Stanford (2000-2003) dan Universitas Georgetown (2003-2009). Dia memperoleh gelar PhD dalam Studi Islam dari Universitas Columbia pada tahun 1990, dan gelar BE dalam bidang teknik mesin dari American University of Beirut, Lebanon pada tahun 1980. Dallal telah menulis dan memberi kuliah secara luas tentang berbagai topik, termasuk disiplin ilmu Islam dalam pembelajaran di abad pertengahan. dan masyarakat Islam modern awal, pengembangan ilmu-ilmu Islam tradisional dan tepat, pemikiran abad pertengahan Islam, evolusi awal-modern dari kebangkitan kembali Islam dan gerakan intelektual, hukum Islam, dan penyebab serta konsekuensi dari serangan 11 September 2001. Dia adalah penulis An Islamic Response to Astronomy Yunani: Kitab Ta‘dil Hay’at al-Aflak dari Sadr al-Shari‘a (1995); Islam, Sains dan Tantangan Sejarah (2012); Teologi Politik ISIS: Nabi, Mesias dan Pemberantasan Greyzone (2017); dan Islam tanpa Eropa – Tradisi Reformasi dalam Pemikiran Islam Abad Kedelapan Belas (2018).