TAJDID.ID~Medan || Ahli hukum pidana Dr. Alpi Sahari, SH. M.Hum mengatakan, Keadilan Restitutif secara implisit tergambar dalam tututan Jaksa terkait hilangnya nyawa Brigadir J. Jaksa dalam sidang perkara hilangnya nyawa Brigadir J telah mengajukan tututan atas 5 terdakwa yang masing-masing tuntutan didasarkan pada fakta di persidangan dengan menjalankan fungsinya sebagai dominus litis pada sistem peradilan pidana.
“Dalam mengajukan tuntutan ini dapat saja Jaksa selaku penuntut umum mengambil momen untuk mencari simpatik publik dengan mengajukan tuntutan ancaman pidana tinggi atau rendah untuk masing-masing terdakwa, misalnya terdakwa PC, KM dan RR dengan ancaman pidana tinggi dibandingkan dengan terdakwa Brada E.” ujar Alpi melalui keterangan tertulisnya, Ahad (22/1).
Lebih lanjut Dr Alpi menjelaskan, di dalam sistem hukum pidana untuk mengajukan tuntutan tentunya JPU mendasarkan pada sistem crime control model yang dianut oleh KUHP, dan KUHAP dengan ciri khas secara eksplisit berupa keadilan retributif. Namun dalam tututan yang dilakukan JPU secara implisit memuat keadilan restitutif dengan memperhatikan manus ministra sebagai alat yang digunakan oleh manus domina untuk melakukan perbuatan pidana.
“Hal ini terfaktakan dari tuntutan terhadap terdakwa FS sangat jauh dengan tututan terdakwa Brada E. Di samping itu, Pasal 340 KUHPidana jenis delik nya adalah delik materil yang berorientasi pada akibat yang timbul dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dimana di persidangan terfaktakan berdasarkan keterangan Brada E ada melakukan penembakan terhadap Brigadir J, namun JPU di dalam tuntutannya tetap memperhatikan bahwa Brada E adalah sebagai pelaku manus ministra, padahal KUHP dan KUHAP menganut prinsip keadilan retributif, bukan keadilan restitutif yang diatur diluar ketentuan KUHP dan KUHAP.
“Disinilah Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia mampu mengharmonisasikan dan memaknai keadilan dalam konteks dan konten hukum dan penegakan hukum, bukan keadilan untuk mencari simpatik dan dimaknai secara subjektif serta emosional,” sebut Alpi.
Menurut Alpi, di dalam hukum pidana bagi yang belajar hukum tentunya memahami dua bentuk penyertaan yakni: pertama, zelfstandige deelneming atau penyertaan yang berdiri sendiri adalah tindakan masing-masing peserta dalam melakukan suatu perbuatan pidana diberi penilaian atau kualifikasi tersendiri dan tindakan mereka masing-masing diadili secara sendiri pula.
Kedua, onzelistandige deelneming atau penyertaan yang tidak berdiri sendiri adalah dapat tidaknya seorang peserta dihukum tergantung pada perannya dalam perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh seorang pelaku.
“Terhadap 5 terdakwa perkara pembunuhan Brigadir J merupakan bentuk zelfstandige deelneming, bukan onzelfstandige deelneming yang saat ini dipahami oleh masyarakat sehingga timbul persepsi JPU mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Hal ini perlu diluruskan agar tidak terjadi pemahaman yang keliru karena JPU telah mewujudkan keadilan yang selaras dengan due process model dan due process of law dalam menuntut masing-masing terdakwa. Hal ini merupakan konsepsi hukum pidana kita,” jelas Dr Alpi.
“Selanjutnya adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar karena perintah jabatan atau justice collaborator (jc) bukan pada ranah penuntutan namun otoritas majelis hakim yang memeriksa perkara karena hakim dalam perkara pidana tidak terikat pada prinsip ultra petita namun pada dakwaan,” pungkasnya. (*)