Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Seorang jurnalis mengirim sebuah link berita dari sebuah media nasional dengan judul “Diteriaki Jadi Gubernur Sumut, Ijeck Sindir Edy Rahmayadi” dan meminta tanggapan saya. Berikut jawaban saya untuk jurnalis itu.
Di negara demokrasi manakah konflik antara Presiden dan Wakilnya tidak pernah terjadi atau meski pun terjadi tak pernah menjadi konsumsi publik?
Donald Trump memiliki catatan ketegangan serius dengan wakilnya, antara lain dalam masalah imigran Muslim yang menyebabkannya sampai dituduh bersikap “ofensif dan inkonstitusional.”
Begitu juga Bill Clinton dan Albert Arnold Gore. Awalnya cocok. Tetapi kemudian secara konstan mengalami keretakan serius. Saat Al-Gore mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2000, dia sampai menolak berkampanye dengan Clinton.
John F.Kennedy dan Lyndon B Johnson juga berseteru dan kerap menjadi konsumsi publik, terutama ketika keduanya sama-sama berada di Gedung Putih.
Hubungan David Dwight Eisenhower dan Richard Nixon dicatat oleh publik Amerika sebagai begitu rumit meski keduanya belakangan dipersatukan dalam ranah lain tanpa dapat menghindar karena putri Nixon akhirnya menikah dengan cucu Eisenhower.
Baca Juga: Pekong Ala Majapahit
Pendeknya negara yang oleh banyak orang disebut sebagai champion demokrasi itu ternyata kaya catatan ketakharmonisan pemimpin puncak, bahkan jika dikaji lagi ke belakang dengan memeriksa catatan-catatan kepemimpinan Amerika paling dini.
Saya yakin nilai kebebasan individual khas Amerika yang “direduksi paksa” saat dipasangkan untuk Pemilihan Presiden, adalah faktor utama bagi kasus-kasus ketakharmonisan di negeri itu.
Ketika kesengitan persaingan telah selesai tuntas dihadapi dengan kemenangan, dan rasa letih sudah hilang, lembaran-lembaran berikutnya tak ayal ditandai perbenturan yang bersumber dari perbedaan mendasar di antara dua figur.

Proklamator Indonesia kerap dilegendakan sebagai dwitunggal, tetapi akhirnya Bung Hatta memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden dan hari-hari panjang berikutnya adalah keleluasaan menerapkan demokrasi terpimpin hingga akhirnya Bung Karno dilengserkan.
Soeharto mungkin memiliki cara yang jitu dan hasilnya tiada suara yang tercium oleh pers tentang ketidakcocokannya dengan Wakil Presiden.
Memang selama dalam jabatan itu tak seorang pun Wakil yang mendampingi Presiden paling lama berkuasa itu yang beroleh kesempatan dua periode.
Faktor figuritas Soeharto yang begitu dominan dan faktor keteraturan pergiliran kesempatan di antara sejumlah figur sentral lainnya dalam pentas politik nasional yang dirancangnya, ditambah dengan faktor stabilitas pemerintahan dalam “kawalan tak langsung” atmosfir Perang Dingin (Cold War) di bawah hegemoni Amerika waktu itu, memungkinkan Soeharto tak tertandingi dalam harmoni kepemimpinan sepanjang sejarah republik.
Kita periksa etape berikutnya, bahwa Gus Dur harus berhenti di tengah jalan untuk kemudian digantikan oleh Megawati di luar tradisi yang lazim. SBY juga tidak akur dengan JK yang akhirnya digantikan oleh Budiono untuk periode keduanya. Tetapi Century Gate yang begitu dahsyat sebetulnya mencerminkan masalah yang amat serius di antara SBY dan Budiono meski tak pecah menjadi konflik terbuka di antara keduanya.
Seandainya konstitusi memungkinkan JK dapat menjadi Wakil Presiden lebih dari dua kali, rasanya Jokowi juga tak akan memilihnya, sebagaimana keputusan SBY untuk periode terakhirnya tempohari.
Apakah Jokowi akur dengan KH Ma’aruf Amin? Beberapa gimmick politik yang terbaca di lingkar luar cukup signifikan memberi bukti ketika lembaga-lembaga survei mengerjakan hal yang tak seharusnya, yakni evaluasi kinerja Wakil Presiden.
Lembaga survei seolah tak faham sistim ketatanegaraan Indonesia bahwa Wakil Presiden itu ya analog dengan ban serap dalam sebuah kenderaan.
Gubsu Sahabat Semua Suku Dato Lelawangsa Syamsul Arifin tidak akur dengan Wakilnya Gatot Pujonugroho, dan ketika yang disebut terakhir menjadi Gubernur juga tidak cocok dengan Wakilnya HT Erry Nuradi.
Soekirman mendampingin HT Erry selama dua periode di Sergai sewaktu menjadi Bupati, namun mungkin karena tak terbiasa menjadi Wakil maka ketika telah menjadi Gubernur definitif, HT Erry Nuradi sangat terkesan ingin menikmati kepemimpinannya sendirian (tanpa wakil) karena proses pengisian jabatan Wakil yang lowong tak disikapi secepat yang dimestikan oleh regulasi.
Harapan Rakyat
Meski pun saya tahu Presiden dan Wakil Presiden tak jarang bertengkar di berbagai negara, namun saya tetap berharap bahwa suatu ketika nanti kewibawaan tokoh sekaliber Ustaz Abdul Somad yang begitu teduh dapat mempersatukan dua figur ini. Beberapa hari lalu, ketika bertemu di Medan, saya benar-benar lupa menyampaikan permintaan ini secara khusus kepada UAS. Tetapi nanti akan saya usahakan menyampaikan.
Kepada Almarhum Ustaz Tengku Zulkarnain hal ini sudah pernah saya diskusikan, namun taqdir tak mengizinkan. Beliau meninggal sebelum niat yang tulus mempersatukan kembali kedua pemimpin ini terlaksana.
Kepada Ketua MUI Sumut Prof H Maratua Simanjuntak dan mantan Rektor IAIN Sumut Prof H Yasir Nasution, dan secara terpisah juga kepada Prof H Syahrin Harahap, sudah pernah saya tawarkan untuk bersama memilih sejumlah tokoh terbatas yang merepresentasikan kewibawaan moral Sumatera Utara untuk mendatangi dan berbicara kepada kedua tokoh ini. Tawaran saya kepada para tokoh Sumut itu, jika semua merasa begitu kelu mengeluarkan kata-kata, saya bersedia menjadi juru bicara.

Martabat
Saya tahu Edy Rahmayadi dan Ijeck sedang merancang keterpilihan dengan pasangan masing-masing melalui Pilkada bulan Nopember 2024. Saya tak alergi dengan keputusan itu. Jika mereka sudah sama-sama merasa tak memiliki kecocokan, mereka harusnya dapat mempertimbangkan risiko bahwa jika konflik terus berlangsung begitu terbuka, justru mereka berdua tak ubahnya sedang berusaha mengkampanyekan kelemahan masing-masing.
Bukan saja efektivitas pemerintahan akan terus terganggu, karena lebih jauh nilai keterpilihan (elektabilitas) masing-masing pun sedang mereka rontokkan sendiri tanpa sadar. Itu berarti mereka dengan suka rela sedang melakukan maneuver politik memberi jalan mulus kepada figur-figur yang akan menantang mereka pada Pilkada 2024.
Konflik terbuka berkepanjangan antara Edy Rahmayadi dan Ijeck sangat bertentangan dengan visi Sumut Bermartabat yang diusung. Tuntutan pembangkitan martabat sebagai bagian kewarganegaraan termanifestasi dalam berbagai bentuk perjuangan politik yang sejak beberapa dekade lalu memotivasi berbagai gerakan perubahan damai maupun bernuansa kekerasan.
Francis Fukuyama (1992) berkesimpulan seperti itu, dan paling komprehensif ditemukan pada karya-karya Myres McDougal (1906-1998), yang membaginya kepada 8 (delapan) unsur: kekuasaan, kecerdasan, keahlian, kehormatan, kejujuran, kecintaan, kekayaan dan kesejahteraan.
Perjuangan memulihkan dan meninggikan martabat itu adalah wilayah kerja yang sangat berat. Sekalipun dengan memobilisasi seluruh kekuatan sosial, politik, dan teknokratis yang ada secara optimum, jelas akan tetap sulit diwujudkan. Konon pula sambil berkelahi? (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU