TAJDID.ID~Medan || Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Alpi Sahari, SH. M.Hum mengatakan, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prawobo seharusnya secara tegas mengusut bocornya LHP (Laporan Hasil Penyelidikan) Divisi Propam Mabes Polri terkait penyelidikan terhadap Ismail Bolong yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pertambangan.
Menurut Alpi, LHP Divisi Propam Mabes Polri merupakan laporan tertulis yang dibuat oleh penyelidik yang berisi tentang hasil penyelidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga tindak pidana terhadap Ismail Bolong sehingga testimoni yang dibuat dikhawatirkan merupakan bentuk unlawfull (tindakan sewenang-wenangan yang melanggar hukum) termasuk objektifitas LHP Divisi Propam yang didalam laporan tertulis mengkait-kaitkan keterlibatan pejabat Polri baik di Polda Kaltim maupun Bareskrim Polri bahkan Kabareskrim Polri Komjen Pol. Drs. Agus Andrianto yang mana LHP dimaksud dinyatakan benar oleh pejabat Div Propam yakni FS dan HK yang saat ini menjalani persidangan sebagai terdakwa.
“Hal ini tentunya diluar konteks penyelidikan yang dilakukan oleh Divisi Propam pada waktu itu,” ujar Alpi melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (26/11/2022).
Di dalam LHP Div Propam Mabes Polri yang viral saat ini dan mengkaitkan ketertibatan pejabat Polri termasuk Kabareskrim Polri diperoleh hanya dari keterangan Ismail Bolong. Menurut Alpi, hal ini tentunya bukan merupakan keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah sudah barang tentu harus diberikan oleh beberapa orang saksi, mengigat didalam hukum acara dikenal asas “Unus Testis Nullus Testis”, artinya “Satu saksi, bukan saksi.” Ketentuan Pasal 185 KUHAP memberikan penjelasan pada ayat (1) bahwa, dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.
Dijelaskan pula pada Pasal 185 ayat (6) KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah untuk mengigatkan agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif.
“Artinya bahwa LHP Div Propam Mabes Polri yang di dalamnya ada keterangan Ismail Bolong terkait memberikan sejumlah uang ke Bareskrim Polri tidak dapat dikualifikasi sebagai bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang merujuk pada Pasal 184 KUHAP, karena LHP Divisi Propam Mabes Polri hanya berupa hasil penyelidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga tindak pidana terhadap Ismail Bolong,” jelas Alpi.
Lebih lanjut Alpi mengatakan, terkait isi LHP Divsi Propam Mabes Polri yang menerangkan di dalamnya berdasarkan hasil keterangan Ismail Bolong ada pemberian sejumlah uang hanya berisi informasi yang kebenarannya perlu dibuktikan namun keterangan di LHP Div Propam Mabes Polri ini menjadi bocor dan viral mengindikasikan adanya pihak-pihak yang sengaja (dolus opzet) menyerang kehormatan dan atau nama baik dengan menuduhkan terhadap adanya pihak yang menerima sejumlah uang sebagaimana di dalam LHP Divisi Propam Mabes Polri atas penyelidikan terhadap Ismail Bolong.
“Untuk itu diharapkan Kapolri harus tegas mengungkap pihak-pihak yang membocorkan LHP dan memviralkan LHP Div Propam Mabes Polri dimaksud,” tegas Dr. Alpi
Selanjutnya, ujar Dr. Alpi yang beberapa kali diminta keterangan sebagai ahli terkait perkara pertambangan di Kaltim menjelaskan berbagai permasalahan regulasi terhadap tambang rakyat yang menimbulkan persoalan-persoalan tersendiri terutama setelah lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang lebih mengedepankan fungsi hukum pidana sebagai ultimum remedium.
Bahkan, kata Alpi, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2020 yang salah satu putusannya mensyaratkan bahwa menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. (*)