Jika masalah pertama yang dikemukakan di atas itu secara filosofis sudah selesai, maka kita beranjak ke dimensi lain.
Muhammadiyah itu tersebar di hampir seluruh wilayah. Ia memiliki aktivitas yang meniscayakan mobilitas horisontal mau pun vertikal. Tetapi dalam menopang kegiatannya bermusyawarah dari satu ke lain kota, dan ini sudah berlangsung seabad lamanya, Muhammadiyah tak serius mengartikulasikannya menjadi basis usaha produktif dalam bidang wisata (terutama penginapan).
Muhammadiyah mengelola qurban, tetapi di negeri agraris ini ia tak memiliki peternakan. Makan nasi adalah kultur utama, tetapi juga tak mempunyai sawah.
Doeloe di Sibolga, Sumatera Utara, ada tongkang tertambat untuk keperluan hajj. Matilah tongkang itu padahal seharusnya adaptasi menjadi maskapai penerbangan, tak usah terlalu tunduk kepada kepanitiaan nasional hajj yang dimiliki pemerintah.
Lembaga pendidikan cukup dibanggakan oleh Muhammadiyah. Tetapi orang tak banyak tahu perguruan tinggi Muhammadiyah yang maju itu hanyalah hasil sampingan dari persaingan pasar yang sangat sengit dan ketidak-adilan yang menganga secara regional.
Big five pendidikan tinggi Muhammadiyah itu seluruhnya pastilah di Jawa. Itu pertanda “penjahan” yang bersumber dari dominasi dan sentralisme yang telah turut dimanfaatkan oleh Muhammadiyah dalam memperkaya diri (meski secara amat terbatas) melalui pendidikan tinggi Muhammadiyah.
Di mana-mana selalu sekolah Muhammadiyah favorit (SD Muhammadiyah Sapen dan SMA Muhammadiyah 1 di Yogyakarta, misalnya) sebagai tempat berkonsentrasi putera-puteri elit.
Nyaman saja perasaan Muhammadiyah membanggakan itu.
***
Pada Muktamar di Makassar begitu teras Muhammadiyah sedang berusaha meyakinkan pemerintah dan dunia bahwa “kami bukan Wahabi, bukan Alqaeda, bukan ISIS dan bukan Komando Jihad”. Padahal mestinya Muhammadiyah sudah sejak lama (terutama sejak berakhirnya perang dingin) merasa wajib mewacanakan Islam sebenarnya agar keadilan melahirkan kedamaian, mengatasi semua tuduhan peyoratif yang berbahaya itu.
Tak begitu nyaring Muhammadiyah bersuara, baik di tingkat nasional dan apalagi internasional bahwa selamanya tak ada terorisme di permukaan bumi ini tanpa penjajahan.
Ada sejumlah orang yang setelah pulang dari sekolah di Barat merasa lebih kompeten mengatakan bahwa nilai-nilai universal harus diadopsi oleh Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia agar mereka ini tahu, misalnya, sanitasi dan ia tahu pula kebaikan tentang cuci tangan sebelum makan.
Jarang orang merasa bahwa orang ini tak faham hegemoni kulit putih yang jika mereka berbicara apa saja selalu double standard.