Oleh: Nirwansyah Putra
Raja adalah magnet. Untuk menjadi raja, dibutuhkan egosentris yang sebesar-besarnya; bahwa dia adalah orang pilihan, dialah yang memang terpilih dan bukan orang lain. Dalam kata raja, berdiam sebuah konsep esa, satu yang tak pernah dua, tak ada sekutu. Dia adalah satu dan yang lain adalah nol mutlak, nihil.
Dia adalah awal dan menjadi causa, dan karena itu menjadi tempat bermunajat. Dia dianggap sebagai suatu yang menyebabkan kehidupan menjadi ada, eksis. Sejarah manusia telah menggambarkan betapa takutnya manusia pada kematian dan sebaliknya, siapapun dan apapun yang memberi kehidupan, dialah tumpuan harapan. Dia tidak boleh sekedar cukup, melainkan harus punya kelebihan dan terus berlebih alias tak boleh habis. Maka, dia pun mustahil mati. Karena kalau dia mati, maka kehidupan akan musnah.
Raja dilestarikan, terus hidup. Boleh dia berubah bentuk tapi tak merubah substansi. Dia diwariskan melalui jalan darah; sebuah jalan yang paling aman dan steril dari masuknya anasir-anasir “yang lain”. Dia tetap mengalir di tubuh anak kandung, cucu dan seterusnya. Pengetahuan manusia tentang deoxyribonucleic acid alias DNA memberitahukan informasi biologis keunikan dan “ketunggalan” zat serta asal-muasalnya. Artinya, si raja tadi tetap terus ada.
Secara sosial, nasab atau tarombo akan selalu disebut. Dia begitu penting untuk mengetahui jejak dan asal-muasal. Buah memang tak perlu dipertengkarkan apakah jatuh jauh atau dekat dengan pohonnya. Karena bukankah buah mangga sudah pasti berasal dari pohon mangga, bukan dari pohon jambu?
Jangan perdebatkan apakah dia benar atau tidak. Dalam raja, tidak ada konsep rasionalitas, karena rasio meminta argumentasi. Argumentasi mensyaratkan daya kritis dan salah satu kemungkinan dari kritisisasi adalah konflik. Dia akan membawa suatu hal yang mungkin bertentangan dengan konsep awalnya. Sebagai dialektika, maka kemungkinannya menjadi 50-50; apakah menjadi pro ataukah kontra atau malau kemungkinan lain yang tak terbayangkan sebelumnya. Maka pekerjaan raja adalah membungkam probabilitas, mengedepankan kepastian. Kepastian itu bukan berbentuk hukum, melainkan doktrin monopolis.
Fir’aun dulu punya doktrin: setiap bayi laki-laki yang telah dan akan lahir adalah yang akan menghancurkannya dan karena itu harus dimusnahkan. Doktrin raja adalah kesatuan tiga ruang waktu; masa lalu-kini-depan. Dia menjangkau “akan”, sebuah masa depan dan mengendalikannya.
Maka sharing alias pembagian (ataupun pemisahan) kekuasaan adalah sesuatu yang haram yang dalam terminologi agama akan diganjar sebagai dosa dan neraka. Akibatnya memang menakutkan karena yang dituntut oleh seorang raja adalah ketakutan dan tunduk setunduk-tunduknya. Tingkatan paling tinggi dari sikap yang tunduk adalah menaruhkan kepala ke tanah, ke kaki si raja, ke titik terendah dari buwana yang setiap hari diinjak oleh si raja. Maka, kewajiban hamba pada sang raja adalah sujud, bukan sekedar membungkukkan badan alias ruku’. Sujud adalah tindakan paling riil dari hilangnya harga diri, martabat, derajat kemanusiaan, rasionalitas, ilmu pengetahuan dan seterusnya.
Lalu, tuntutan sang raja bukanlah sesembahan, ataupun sekedar upeti, pajak, sesajian dan seterusnya. Karena bukan sekedar hidup, bahkan kematianpun harus diserahkan kepadanya.
Maka raja bukanlah sebuah konsep kemanusiaan melainkan ketuhanan. Dan sudah menjadi “karakteristik tuhan”, jikalau ada tuhan yang lain, maka dia akan menegasikannya; seperti Fir’aun dulu.
Kekuasaan bukanlah cakap-cakap level kerupuk. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU