Monopoli Kebenaran
Mencari kebenaran itu lebih bernilai dibandingkan menguasainya (Albert Einstain)
Bagi dunia filsafat dan ilmu pengetahuan, aforisma yang dilontarkan ilmuan besar dunia Albert Einstain di atas memang adalah prinsip ideal yang seharusnya dipraktikkan. Tujuan ideal ilmu itu adalah mencari kebenaran.
Tetapi sepertinya itu tidak relevan — bahkan boleh jadi dianggap sesuatu yang naïf – dilakukan di dalam dunia politik dan kekuasaan. Dalam logika politik dan kekuasan, justru ikhtiar mencari kebenaran bukanlah suatu yang penting, dan sama sekali bukan menjadi tujuan. Bagi politisi dan penguasa yang terpenting adalah bagaimana menguasai dan mengendalikan kebenaran. Karena dengan mengendalikan dan menguasai kebenaran, akan membantu dan memudahkan politisi atau penguasa memenangkan kepentingannya.
Kalaupun ada ruang untuk kebenaran, lebih sering itu hanya sebentuk bunga-bunga kata yang mekar di mulut mereka yang sebenarnya pendusta. Jarang sekali kebenaran jadi bagian dari dedikasi dan komitmen mereka.
Dan biasanya, pihak yang paling potensial untuk menguasai kebenaran adalah mereka yang sedang memegang kekuasaan. Semakin besar kekuasaan yang digenggam, maka semakin besar peluang memenangkan pertarungan untuk menguasai kebenaran.
Dalam konteks politik dan kekuasaan, makna menguasai kebenaran adalah bagaimana penguasa menggunakan segenap kekuasaan yang dimilikinya secara optimal untuk selalu merasionalisasi dan membenarkan setiap perilaku dan kebijakan yang dikeluarkannya.
Tentunya kita masih ingat, di masa pemerintahan Orde Baru, bangsa ini pernah mengalami masa dimana telah terjadi monopoli kebenaran oleh rezim penguasa. Atas nama negara, penguasa otoritarian saat itu tampil sebagai pembuat sekaligus penafsir tunggal kebenaran politik untuk mengamankan status-quo kekuasaannya.
Dalam segala hal pihak penguasa selalu memaksakan semua yang dilakukannya harus dianggap dan diamini sebagai sesuatu kebenaran yang tidak pernah salah. Dan jika ada pihak-pihak yang berupaya menginterupsi atau mengoreksinya, maka itu akan dianggap sebagai tindakan subversif yang kemudian pantas untuk dibungkam secara represif.
Terbukti, tidak sedikit tokoh, kelompok dan media massa yang mencoba nekat menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran pemerintah telah menjadi korban kelaliman penguasa pada waktu itu.
Namun setelah rezim Orba runtuh dan bangsa ini memasuki era reformasi, kondisi pun berubah drastis. Kehadiran gerakan reformasi sebagai antitesa dari Orba telah membawa angin perubahan yang cukup radikal bagi bangsa ini. Salah satu implikasi yang paling menonjol dari kehadiran gerakan reformasi adalah terbukanya kran kebebasan ditengah-tengan kehidupan bernegara, termasuk dalam sektor kehidupan politik.
Tak ayal, eforia pun melanda sebagian besar anak bangsa menyambut era kebebasan tersebut. Tiba-tiba siapapun tidak tabu lagi untuk bersuara memuntahkan aspirasinya. Begitu juga terkait kebenaran politik, negara bukan lagi jadi satu-satunya penguasa tunggal kebenaran politik yang dominan. Setiap orang atau kelompok kepentingan bebas memiliki klaim kebenaran politik masing-masing.